Pelajaran-Pelajaran Dari Kudeta 1965 Indonesia
By Terri Cavanagh
BAB PERTAMA
Latar Belakang Sejarah
Pada
Bulan Oktober 1965 kaum buruh internasional mengalami salah satu
kekalahan yang terbesar dalam period setelah Perang Dunia Kedua.
Sebanyak
satu juta buruh dan petani dibantai dalam kudeta militer yang diatur
oleh CIA dan dipimpin oleh Jenderal Suharto. Kudeta militer ini
dilakukan untuk menyingkirkan rejim burjuis Sukarno yang sedang goyah,
menindas pergerakan massa di Indonesia dan mendirikan rejim militer yang
brutal.
Mantan-mantan
diplomat Amerika Serikat and pejabat CIA, termasuk bekas duta besar AS
untuk Indonesia dan Australia, Marshall Green, tahun ini telah mengakui
bekerja sama dengan tukang-tukang jagal Suharto dalam pembunuhan ratusan
ribu buruh dan petani yang dicurigai sebagai pendukung Partai Komunis
Indonesia. Mereka memberikan secara perorangan nama-nama dari ribuan
anggota PKI dari arsip-arsip CIA, untuk daftar-daftar bantaian angkatan
bersenjata.
Menurut
Howard Federspeil, seorang ahli soal Indonesia yang sedang bekerja
untuk Departemen Luar Negeri AS pada waktu kampanye anti-komunis itu:
"Tak seorang pun perduli, asal saja mereka itu komunis, kalau mereka
dijagal."
Kudeta
itu merupakan hasil dari sebuah operasi panjang CIA, dengan bantuan
agen-agen Dinas Intelijen Rahasia Australia (ASIS), untuk melatih dan
membangun angkatan bersenjata Indonesia dalam persiapan untuk sebuah
rejim militer yang akan menindas aspirasi revolusioner rakyat Indonesia.
Pada
waktu kudeta militer itu, PKI merupakan partai Stalinis yang terbesar
di seluruh dunia, di luar Cina dan Uni Sovyet. Anggotanya berjumlah
sekitar 3.5 juta; ditambah 3 juta dari pergerakan pemudanya. PKI juga
mengontrol pergerakan serikat buruh yang mempunyai 3.5 juta anggota dan
pergerakan petani BTI yang mempunyai 9 juta anggota. Termasuk pergerakan
wanita, organisasi penulis dan artis dan pergerakan sarjananya, PKI
mempunyai lebih dari 20 juta anggota dan pendukung.
Selama
perjuangan kemerdekaan melawan Belanda di tahun empatpuluhan dan
sepanjang tahun limapuluhan dan enampuluhan ratusan ribu orang buruh
yang sadar akan kelasnya menjadi anggota PKI, mengira PKI masih mewakili
tradisi-tradisi sosialis revolusioner Revolusi Bolshevik 1917.
Namun
pada akhir 1965, antara 500.000 dan satu juta anggota-anggota dan
pendukung-pendukung PKI telah menjadi korban pembunuhan dan puluhan ribu
dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi, tanpa adanya perlawanan sama
sekali.
Pembunuhan-pembunuhan
itu sangatlah tersebar-luas, sampai sungai-sungai menjadi penuh dengan
mayat-mayat para pekerja dan petani. Sewaktu regu-regu pembantai militer
yang didukung CIA mencakupi semua anggota dan pendukung PKI yang
terketahui dan melakukan pembantaian keji mereka, majalah "Time"
memberitakan:
"Pembunuhan-pembunuhan
itu dilakukan dalam skala yang sedemikian sehingga pembuangan mayat
menyebabkan persoalan sanitasi yang serius di Sumatra Utara, di mana
udara yang lembab membawa bau mayat membusuk. Orang-orang dari
daerah-daerah ini bercerita kepada kita tentang sungai-sungai kecil yang
benar-benar terbendung oleh mayat-mayat. Transportasi sungai menjadi
terhambat secara serius."
Bagaimanakah
kekalahan bersejarah ini dapat terjadi? Jawabannya memerlukan sebuah
penelitian dari sejarah pergerakan rakyat Indonesia, pengkhianatan oleh
kelas burjuis nasional yang dipimpin oleh Sukarno, peranan
kontra-revolusioner PKI dan peranan penting yang dimainkan oleh para
oportunis Pablois dari "Sekretariat Tergabung" (United Secretariat)-nya
Ernest Mandel dan Joseph Hansen dalam membantu pengkhianatan para
Stalinis.
'Permata Asia'
Kudeta
berdarah di Indonesia merupakan hasil dari niat imperialisme AS untuk
mendapatkan kontrol mutlak atas kekayaan alam dan sumber-sumber
strategis dari kepulauan yang sering dinamakan 'Permata Asia'itu.
Pentingnya
Indonesia bagi imperialisme AS ditegaskan oleh presiden AS Eisenhower
di tahun 1953, waktu ia mengatakan kepada konperensi gubernur
negara-negara bagian bahwa pembiayaan oleh AS untuk perang kolonial
pemerintah Perancis di Vietnam adalah sangat imperatif dan merupakan
"jalan termurah" untuk tetap mengontrol Indonesia.
Eisenhower
menerangkan:"Sekarang marilah kita anggap kita kehilangan Indocina.
Bila Indocina hilang, beberapa hal akan langsung terjadi. Tanjung
Malaka, sebidang tanah terakhir yang bertahan di sana, akan menjadi
sulit untuk dipertahankan. Timah dan tungsten yang sangat kita hargai
dari daerah itu akan berhenti datang, dan seluruh India akan terkepung.
"Birma
tidak akan berada di posisi yang dapat dipertahankan. Semua posisi di
sekitar sana akan menjadi sangat tak menyenangkan buat Amerika Serikat,
karena pada akhirnya jika kita kehilangan semua itu, bagaimanakah dunia
bebas akan mempertahankan kerajaan Indonesia yang kaya?
"Jadi, entah dimana, ini harus diberhentikan dan harus diberhentikan sekarang, dan inilah yang kita usahakan.
"Jadi,
bila AS memutuskan untuk menyumbang 400 juta dolar untuk membantu
perang di Indocina, kita bukannya menyuarakan program bantuan gratis.
Kita memilih jalan termurah untuk mencegah terjadinya sesuatu yang akan
berarti sangat buruk buat Amerika Serikat, keamanan, kekuatan dan
kemampuan kita untuk mendapatkan barang-barang tertentu yang kita
butuhkan dari kekayaan-kekayaan wilayah Indonesia dan Asia Tenggara."
Indonesia
telah diperkirakan sebagai negara terkaya nomor lima di dunia di bidang
sumber-sumber alam. Selain sebagai produser minyak yang nomor lima
terbesar, Indonesia mempunyai cadangan-cadangan timah, bauksit,
batubara, emas, perak, berlian, mangan, fosfat, nikel, tembaga, karet,
kopi, minyak kelapa sawit, tembakau, gula, kelapa, rempah-rempah, kayu
dan kina yang sangat besar.
Pada
tahun 1939, yang pada waktu itu masih dipanggil East Indies Belanda
memasok lebih dari separuh konsumsi total bahan mentah yang penting bagi
Amerika Serikat. Kekuasaan atas daerah penting ini merupakan masalah
penting dalam perang AS-Jepang di Pasifik. Dalam masa setelah perang
kelas penguasa AS bertekad bulat untuk tidak kehilangan
kekayaan-kekayaan negara ini ke tangan rakyat Indonesia.
Setelah
kekalahan Perancis di Vietnam di tahun 1954, AS menjadi khawatir bahwa
perjuangan rakyat Vietnam akan menyulut pergolakan revolusioner di
seluruh daerah Asia Tenggara, mengancam kontrol mereka atas Indonesia.
Di
tahun 1965, sebelum kudeta di Indonesia, Richard Nixon, yang segera
akan menjadi presiden AS, menyerukan untuk pengeboman saturasi untuk
melindungi "potensi mineral besar" Indonesia. Dua tahun setelah itu, dia
menyatakan bahwa Indonesia merupakan "hadiah terbesar Asia Tenggara".
Setelah
kudeta 1965, kegunaan diktatur Suharto untuk kepentingan imperialisme
AS telah tergarisbawahi dalam laporan Departemen Luar Negeri AS ke
Konggres di tahun 1975, yang menyebut Indonesia sebagai "lokasi yang
paling berwenang secara strategis di dunia":
"Mempunyai populasi yang terbesar di seluruh Asia Tenggara.
"Merupakan penyuplai utama bahan-bahan mentah di daerah itu.
"Kemakmuran
ekonomi Jepang yang terus berkembang, sangatlah tergantung pada minyak
bumi dan bahan-bahan mentah lain yang dipasok oleh Indonesia.
"Investasi Amerika yang sudah ada di Indonesia sangatlah kokoh dan hubungan dagang kita sedang berkembang cepat.
"Indonesia mungkin secara meningkat akan menjadi penyedia yang penting untuk keperluan energi AS.
"Indonesia
adalah anggota OPEC, tetapi itu mengambil sikap yang moderat dalam
langkah-langkahnya, dan tidak ikut serta dalam embargo minyak bumi.
"Kepulauan
Indonesia terletak pada jalur-jalur laut yang strategis dan pemerintah
Indonesia memainkan peranan yang vital dalam perundingan-perundingan
hukum kelautan, yang sangatlah penting untuk keamanan dan kepentingan
komersiil kita."
Perampasan Kolonial Selama Berabad-Abad
Kolonial
Belanda menjajah Indonesia tanpa ampun selama 350 tahun, merampok
kekayaan alamnya, membuka perkebunan-perkebunan besar dan memeras
rakyatnya secara kejam.
Pada
tahun 1940 hanya ada satu dokter untuk setiap 60,000 orang
(dibandingkan dengan India, di mana rasionya adalah 1:6,000) dan 2,400
lulusan Sekolah Menengah Atas. Pada akhir Perang Dunia Kedua, 93 persen
dari populasi Indonesia masih buta-huruf.
Pada
permulaan abad Kesembilan Belas, perkembangan kaum burjuis Inggris
makin menantang dominasi Belanda atas daerah ini. Di tahun 1800 East
Indies Company milik Belanda menjadi bangkrut dan Inggris mengambil-alih
daerah kekuasaannya antara tahun 1811 dan 1816. Di tahun 1824, Treaty
of London (Perjanjian London) membagi daerah ini antara keduanya:
Inggris mendapat kontrol atas tanjung Malaka dan Belanda tetap menguasai
kepulauan Indonesia.
Permulaan
abad Keduapuluh, imperialisme Amerika yang baru sedang berkembang mulai
menjadi tantangan untuk kekuatan kolonial Eropa, terutama setelah
pendudukan Filipina oleh Amerika Serikat di tahun 1898.
Amerika
Serikat sedang terlibat dalam perang dagang dengan Belanda atas minyak
bumi dan karet. Perusahaan minyak Standard mulai memperebutkan monopoli
atas daerah-daerah pertambangan minyak di Indonesia oleh Royal Dutch
company. Di tahun 1907, Royal Dutch dan Shell bergabung untuk menandingi
kompetisi dari AS. Mengambil keuntungan dari situasi Perang Dunia
Pertama, Standard Oil mulai mengebor minyak di Jawa Tengah, dan dalam
tahun yang sama perusahaan-perusahaan AS mulai menguasai
perkebunan-perkebunan karet. Goodyear Tyre and Rubber membuka
perkebunan-perkebunan mereka dan US Rubber membuka perkebunan-perkebunan
karet di bawah satu pemilikan yang terbesar di dunia.
Strategi AS di daerah ini sewaktu itu dapat diringkas oleh Senator William Beveridge:
"Filipina
adalah milik kita selamanya...dan lewat Filipina adalah pasaran Cina
yang tak terbatas. Kita tidak akan mundur dari keduanya. Kita tidak akan
meninggalkan tanggung-jawab kita di kepulauan itu. Kita tidak akan
meninggalkan tanggung-jawab kita di Asia Timur. Kita tidak akan
meninggalkan bagian kita di dalam misi bangsa kita, kepercayaan Tuhan,
untuk perdaban di dunia ini...kita akan maju berkarya...dengan rasa
terima kasih... dan rasa syukur kepada Tuhan kita yang Maha Besar karena
Dia telah memilih kita sebagai orang-orang terpilihNya, dan selanjutnya
memimpin dalam regenerasi dunia...Perdagangan terbesar kita mulai
sekarang harus dengan Asia. Laut Pasifik itu adalah laut kita... dan
Pasifik adalah laut perdagangan masa depan. Kekuatan yang memiliki
Pasifik, adalah kekuatan yang menguasai dunia. Dan dengan Filipina,
kekuatan itu adalah dan akan selalu menjadi Republik Amerika."
Berkembangnya
imperialisme Jepang dan ekspansinya ke Korea, Manchuria dan Cina
menimbulkan pertentangan dengan imperialisme Amerika atas penguasaan
daerah-daerah itu, yang meningkat dan meletus dalam Perang Pasifik dalam
Perang Dunia Kedua. Keinginan kaum burjuis Jepang untuk merebut
kekuasaan AS, Perancis dan Belanda membawa pentingnya Indonesia, sebagai
gerbang ke Laut India dari Asia Tenggara dan sumber kekayaan alam, ke
dalam fokus.
Di
tahun 1942 para kolonialis Belanda menyerahkan kekuasaan atas Indonesia
ke Jepang, daripada membiarkan rakyat Indonesia berjuang untuk
kemerdekaan. Semua kekuatan imperialis mempunyai alasan baik untuk
menakuti rakyat Indonesia yang tertindas.
Sejauh
tahun 1914 wakil-wakil terbaik dari kelas buruh Indonesia telah
mengambil ajaran Marxisme ketika Assosiasi Sosial Demokrat Indies
(Indies Social Democratic Association) dibentuk dengan inisiatip seorang
komunis Belanda Hendrik Sneevliet. Di tahun 1921 itu berubah menjadi
Partai Komunis Indonesia sebagai tanggapan kepada Revolusi Bolshevik di
Rusia.
PKI
mendapatkan kewenangan besar di antara rakyat dengan memimpin
perjuangan melawan kolonialisme Belanda, termasuk pergerakan-pergerakan
besar yang pertama di Jawa dan Sumatra di tahun 1926 dan 1927.
Ketika
rakyat Cina sedang bergerak dalam Revolusi Cina yang kedua di tahun
1926-27, para pekerja dan petani Indonesia juga bergerak dalam sebuah
pemberontakan, yang dipimpin PKI. Bagaimanapun juga, kewenangan kolonial
Belanda berhasil memadamkan pemberontakan-pemberontakan itu. Mereka
menangkap 13,000 orang tertuduh, memenjarakan 4,500 dan mengasingkan
1,308 ke dalam kamp konsentrasi di Irian Barat. PKI dilarang.
Perjuangan Pembebasan Nasional Dikhianati
Pada
akhir Perang Dunia Kedua rakyat-rakyat tertindas di Indonesia, India,
Sri Lanka, Cina dan di seluruh Asia Tenggara dan dunia maju bergerak
dalam perjuangan-perjuangan revolusioner untuk membebaskan diri dari
imperialisme.
Pada
saat yang sama, kelas buruh di Eropa dan negara-negara kapitalis
mengadakan perjuangan-perjuangan yang menggoncangkan. Itu hanya dapat
dipadamkan melalui perkhianatan birokrasi Sovyet yang dipimpin oleh
Stalin dan partai-partai Stalinis di seluruh dunia. Pengkhianatan
pekerja-pekerja Perancis, Itali dan Yunani yang terutama, dan pendirian
rejim-rejim yang dikendalikan secara birokratis di Eropa Timur
memperbolehkan imperialisme untuk memantapkan diri.
Di
tahun 1930an, munculnya sebuah kasta berhak istimewa dalam Uni-Sovyet,
yang mengambil kekuasaan politis dari kaum proletar Sovyet, telah
menghancurkan partai-partai Komunis. Dari partai-partai Internasional
revolusioner, mereka berubah menjadi organisasi-organisasi
kontra-revolusioner, yang menekan perjuangan-perjuangan mandiri kelas
buruh.
Di
negara-negara kolonial, partai-partai Stalinis ini, termasuk PKI,
secara sistematis mengebawahkan kepentingan rakyat ke kelas
burjuis-nasional yang dipimpin oleh tokoh-tokoh seperti Gandhi di India
dan Sukarno di Indonesia yang berusaha mencari penyelesaian dengan
kekuatan-kekuatan kolonial untuk mempertahankan kekuasaan kapitalis.
Perjanjian-perjanjian
setelah Perang Dunia Kedua tidak menghasilkan pembebasan nasional yang
sejati dari imperialisme, tetapi membebankan kepada rakyat agen-agen
baru kekuasaan imperialis. Ini adalah kasusnya di Indonesia di mana
kelas burjuis nasional, dipimpin Sukarno, mengadakan
perjanjian-perjanjian reaksioner dengan Belanda.
Sukarno,
putra seorang guru sekolah Jawa yang berasal dari keluarga
aristokratis, adalah lulusan arsitek, bagian dari lapisan sosial tipis
kaum petit-burjuis yang berpendidikan. Dia adalah ketua Partai Nasional
Indonesia saat itu dibentuk di tahun 1927 dan mengalami penjara dan
pengasingan di tangan Belanda karena dia mengajarkan kemerdekaan
nasional.
Dalam
Perang Dunia Kedua Sukarno dan kelas burjuis nasional bekerja sama
dengan pasukan pendudukan Jepang dengan harapan mendapatkan semacam
kemerdekaan nasional. Dalam hari-hari terakhir perang itu Sukarno,
dengan dukungan separuh-hati Jepang, mendeklarasikan Republik Indonesia
yang merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945.
Arahan
pemimpin-pemimpin kelas burjuis nasional ini bukanlah untuk memimpin
sebuah gerakan proletar melawan imperialisme, tetapi untuk mendirikan
sebuah administrasi dan memperkuat posisi mereka dalam tawar-menawar
dengan Belanda, yang tidak mempunyai tentara di daerah itu.
Tetapi
reaksi Belanda adalah mengadakan perang yang kejam untuk menekan rejim
yang baru ini. Mereka memerintahkan Indonesia untuk tetap di bawah
perintah tentara Jepang sampai tentara Inggris dapat mencapai sana.
Inggris dan Jepang kemudian menggunakan tentara-tentara Jepang untuk
menekan perjuangan bertekad para pekerja, pemuda dan petani Indonesia.
Dengan begitu, semua kekuatan-kekuatan imperialis bergabung melawan
rakyat Indonesia.
Ketika
perlawanan bersenjata meletus di seluruh Indonesia terhadap tentara
Belanda, Sukarno, dengan dukungan dari kepemimpinan PKI, menjalankan
sebuah politik kompromi dengan Belanda dan menandatangani Perjanjian
Linggarjati di bulan Maret 1947. Belanda mengenali secara formal
kekuasaan Indonesia atas Jawa, Madura dan Sumatra dan setuju untuk
mengundurkan tentara mereka. Tetapi kenyataannya, Belanda hanya
menggunakan ini sebagai kesempatan untuk mengambil napas dan memperkuat
dan mempersiapkan diri untuk sebuah serangan yang kebrutalannya tak
tertandingi di bulan Juli dan Agustus 1947.
Selama
waktu ini, ratusan ribu buruh dan petani menjadi anggota atau mendukung
PKI karena mereka kehilangan kepercayaan terhadap para pemimpin burjuis
dan karena mereka memandang PKI sebagai partai revolusioner. Mereka
juga terilhami oleh kemajuan-kemajuan Partai Komunis Cina Mao Tse Tung
dalam perangnya melawan Chiang Kai-Shek. Dalam perang melawan Belanda,
buruh dan petani menduduki tanah dan bangunan-bangunan berulang-ulang
dan serikat-serikat buruh massa dibentuk.
Untuk
menanggulangi perkembangan ini, pemerintahan Republik Sukarno, yang
dipimpin oleh Amir Syarifuddin yang saat itu masih Perdana Menteri (juga
seorang anggota PKI rahasia), menandatangani Perjanjian Renville di
bulan Januari 1948 (dipanggil itu karena ditandatangani di atas USS
Renville). Perjanjian ini memberi Belanda kekuasaan atas separuh
pabrik-pabrik gula di Jawa, 75 percent dari karet Indonesia, 65percent
perkebunan kopi, 95 percent perkebunan teh dan minyak bumi di Sumatra.
Tambahan pula, penyelesaian yang diimposisi oleh AS ini menyebutkan
penarikan mundur pasukan-pasukan gerilya dari daerah-daerah yang
dikuasai Belanda dan menciptakan kondisi untuk pembubaran "unit-unit
rakyat bersenjata" yang dipimpin oleh PKI, dan untuk pembentukan
"Angkatan Bersenjata Nasional Indonesia" yang dipimpin oleh Sukarno dan
jendral-jendralnya.
Di
tahun 1948 aksi-aksi pemogokan menentang pemerintah Republik, yang
sekarang dipimpin oleh Wakil Presiden sayap-kanan Hatta sebagai Perdana
Menteri, dan menuntut sebuah pemerintahan berparlemen. Aksi-aksi ini
dipadamkan oleh Sukarno yang mengimbau untuk penciptaan "kesatuan
nasional".
Pada
saat yang sama, pemimpin PKI Musso yang sebelumnya diasingkan, kembali
dari Uni-Sovyet dan beberapa pemimpin-pemimpin penting Partai Sosialis
Indonesia dan Partai Buruh Indonesia menyatakan bahwa mereka adalah
anggota-anggota rahasia PKI selama bertahun-tahun. Pernyataan ini
menunjukkan basis dukungan untuk PKI yang jauh lebih besar dari yang
sebelumnya diperkirakan oleh kekuatan-kekuatan imperialis.
Di
bulan Juli 1948 pemimpin-pemimpin burjuis, termasuk Sukarno dan Hatta
mengadakan pertemuan rahasia dengan wakil-wakil AS di Sarangan di mana
AS menuntut, sebagai bayaran bantuan ke pemerintah, pengadaan pemburuan
anggota-anggota PKI dalam angkatan bersenjata dan pegawai-pegawai
pemerintah. Hatta, yang juga masih Menteri Pertahanan, diberi $10 juta
untuk melakukan "pemburuan merah"
Dua
bulan setelah itu, dalam sebuah percobaan untuk menghancurkan PKI,
Peristiwa Madiun dilakukan di Jawa. Beberapa perwira angkatan
bersenjata, anggota-anggota PKI, dibunuh dan yang lainnya menghilang,
setelah mereka menentang rencana-rencana untuk membubarkan
kesatuan-kesatuan gerilya angkatan bersenjata yang berada di garis depan
perang melawan Belanda.
Pembunuhan-pembunuhan
ini menimbulkan pemberontakan di Madiun yang ditekan secara berdarah
oleh rejim Sukarno. Perdana Menteri Hatta menyatakan hukum darurat.
Ribuan anggota PKI dibunuh, 36,000 dipenjara dan pemimpin PKI Musso dan
11 pemimpin penting yang lainnya dihukum mati.
Konsul-Jendral
AS Livergood menelegram atasannya di AS mengatakan bahwa dia telah
memberitahu Hatta bahwa "krisis ini memberikan pemerintahan Republik
kesempatan untuk menunjukkan tekadnya untuk menekan komunisme."
Terbesarkan
hatinya karena pogrom anti-komunis itu, Belanda menjalankan serangan
militer baru di Desember 1948, menangkap Sukarno. Tetapi perlawanan yang
meluas memaksa Belanda untuk menyerah dalam waktu enam bulan.
Meskipun
begitu, konperensi Meja Bundar tahun 1949 di Den Haag membebankan
pengkhianatan-pengkhianatan baru atas rakyat Indonesia, melibatkan
konsesi-konsesi yang lebih besar dari kelas burjuis Indonesia.
Pemerintah
Sukarno setuju untuk mengambil alih hutang-hutang koloni dan menjamin
perlindungan untuk modal milik Belanda. Belanda mendapat Irian Barat dan
Republik Indonesia tetap harus bekerja sama dengan imperialis Belanda
dalam Netherlands-Indonesian Union. Pemerintah Sukarno tetap
mempertahankan hukum-hukum kolonial. Angkatan bersenjata baru didirikan
dengan menggabungkan tentara-tentara Belanda yang berasal dari Indonesia
ke dalam "Angkatan Bersenjata Nasional". Dalam kata lain aparatus dan
hukum-hukum kolonial lama dipertahankan dibalik aling-aling pemerintahan
parlemen di republik yang baru.
Kepemimpinan
PKI mendukung pengkhianatan perjuangan pembebasan nasional itu dan
berusaha untuk membatasi kelas buruh dan petani ke dalam
perjuangan-perjuangan yang damai dan "demokratis". Ini adalah terusan
dari posisi PKI selama Perang Dunia Kedua ketika kepemimpinan PKI
(dengan Partai Komunis Belanda) mengikuti arahan Stalin untuk bekerja
sama dengan imperialis Belanda melawan Jepang dan menyerukan untuk
sebuah "Indonesia merdeka dalam Persemakmuran Belanda". Ini tetap
menjadi politik PKI meskipun selama perjuangan setelah Perang Dunia
Kedua melawan Belanda.
Untuk
rakyat Indonesia, kepalsuan "kemerdekaan" di bawah dominasi
imperialisme Belanda, Amerika dan dunia yang berlangsung makin menjadi
jelas. Hasil-hasil alam, industri-industri penting,
perkebunan-perkebunan dan kekuatan keuangan tetap dipegang oleh
perusahaan-perusahaan asing.
Contohnya,
70 percent lalu-lintas laut antar kepulauan masih dipegang oleh
perusahaan Belanda KPM dan salah satu bank Belanda terbesar,
Nederlandche Handel Maatschappij, memegang 70 percent dari semua
transaksi keuangan Indonesia.
Menurut
perhitungan pemerintah Indonesia, di pertengahan tahun 1950an, modal
Belanda di Indonesia berharga sekitar $US 1 milyar. Pemerintah Sukarno
mengatakan bahwa meskipun jika mereka ingin menasionalisasikan kemilikan
Belanda, mereka tidak mempunyai cukup uang untuk menggantikan kerugian
bekas penguasa-penguasa kolonial itu. Dan untuk menasionalisasikan tanpa
ganti-rugi adalah komunisme.
Ketidakpercayaan rakyat tercermin di pemilihan umum 1955 ketika jumlah kursi yang dipegang PKI meningkat dari 17 ke 39.
Dalam
waktu dua tahun pergerakan rakyat akan meletus dalam penyitaan
pabrik-pabrik, perkebunan-perkebunan, bank-bank, toko-toko dan
kapal-kapal milik Belanda, Amerika dan Inggris.
BAB KEDUA
Para Stalinis Mengkhianati Pergerakan Massa
Pada
bulan Desember 1957 dominasi imperialisme atas ekonomi Indonesia
tergoncang oleh pergerakan massa kaum buruh dan petani. Pabrik-pabrik,
perkebunan-perkebunan, bank-bank dan kapal-kapal laut banyak yang
dirampas dan diduduki.
Rejim
burjuis Sukarno bisa bertahan hanya karena pemimpin-pemimpin Stalinis
Partai Komunis Indonesia (PKI) menyabot pergerakan massa itu, dengan
menegaskan bahwa para buruh dan petani harus menyerahkan semua yang
sudah mereka sita kepada pasukan-pasukan angkatan bersenjata yang
dikirim oleh Sukarno, dengan dukungan AS, untuk mengontrol situasi itu.
Kabar
di New York Times tanggal 8 Desember 1957 memberi gambaran tentang
keluasan dan kekuatan pergerakan itu: "Pergerakan pekerja-pekerja di
Jakarta, sejauh kita dapat menentukan, terjadi tanpa ijin pemerintah,
dan berlawanan dengan kata-kata Perdana Menteri Djuanda, Kepala angkatan
bersenjata Jendral Abdul Haris Nasution dan pejabat-pejabat pemerintah
yang lainnya, yang mengatakan bahwa pergerakan itu tidak dapat diterima
dan orang-orang yang terlibat akan dihukum berat...
"Ketiga
bank milik Belanda di sini, the Netherlands Trading Society, the
Escompto dan the Netherlands Commercial Bank, diambil-alih oleh
delegasi-delegasi pergerakan itu. Mereka membacakan proklamasi di depan
kawan-kawan seperjuangan yang penuh semangat dan kemudian di depan para
administrator-administrator dari Belanda, mengatakan bahwa atas nama
Asosiasi Pekerja Indonesia mereka merampas bank-bank ini dan mulai saat
itu akan menjadi milik Republik Indonesia."
Surat
kabar Belanda "Volksrant" mengabarkan dengan nada khawatir pada tanggal
11 Desember 1957:"Di Jakarta para Komunis terus mengibarkan
bendera-bendera merah di atas perusahaan-perusahaan milik Belanda...Hari
ini kantor pusat Philips dan Societe D'Assurances Nillmij di Jakarta
diduduki oleh orang-orang Indonesia di bawah pimpinan perserikatan buruh
Komunis."
Pergerakan
ini tidak hanya terjadi di Pulau Jawa. Menurut "New York
Herald-Tribune" tanggal 16 Desember:"Pekerja-pekerja di bawah SOBSI,
perserikatan buruh sentral yang didominasi oleh para Komunis, merampas
toko-toko roti Belanda dan bank-bank di Borneo (Kalimantan)." Koran "New
York Times" pada hari yang sama mengabarkan bahwa di Palembang, ibukota
Sumatra Selatan, "pasukan-pasukan keamanan menahan sejumlah pekerja,
anggota serikat buruh yang dikontrol oleh para Komunis, karena mereka
bertindak tanpa ijin menyita tiga perusahaan Belanda. Tigapuluh tujuh
bendera merah yang mereka naikkan di depan rumah-rumah pegawai-pegawai
Belanda perusahaan-perusahaan tersebut telah disita."
Surat-surat
kabar kapitalis yang lain mengabarkan "situasi anarki di Bali" dan
menurut pemilik perkebunan Belanda yang sedang melarikan diri, di Aceh
dan Deli, di pantai selatan Sumatra, pergerakan rakyat bukan hanya
ditujukan ke perusahaan-perusahaan Belanda, tetapi juga ke
perusahaan-perusahaan Inggris dan Amerika. Kabar-kabar serupa juga
datang dari Sumatra Utara, Sulawesi dan pulau-pulau lainnya.
Ada
juga kabar-kabar bahwa pergerakan-pergerakan ini menimbulkan perlawanan
di Papua New Guinea (Irian Timur) yang diduduki oleh Australia. Di
Karema, duapuluh orang terluka ketika orang-orang pribumi melawan
anggota-anggota pasukan keamanan setelah seorang jururawat pribumi
mengatakan bahwa dia merasa dihina.
Pemberontakan
di Indonesia timbul sebagai reaksi terhadap panggilan dari Sukarno
untuk mengadakan pemogokan umum terhadap perusahaan-perusahaan Belanda.
Sebelum itu ia juga berbicara tentang penasionalisasian
perusahaan-perusahaan milik Belanda pada sebuah pidato umum. Tujuan
Sukarno adalah untuk menggunakan ancaman penasionalisasian sebagai cara
untuk menekan Belanda untuk meninggalkan Irian Barat, yang tetap dibawah
Belanda setelah Konperensi Meja Bundar di tahun 1949, supaya Indonesia
dapat mengambil-alihnya.
Dalam
usahanya untuk mengimbangkan keserakahan imperialisme Belanda, Amerika
dan Inggris; ketidakpuasan massa yang tertindas dan berkembangnya
kekuatan militer dengan dukungan Amerika - yang makin lama makin menjadi
andalan rejimnya, Sukarno berusaha menggunakan tekanan dari rakyat
untuk menekan imperialisme Belanda.
Para
buruh mulai merampas dan menduduki perusahaan-perusahaan Belanda tanpa
suruhan. Sukarno sama sekali tidak mengharapkan tanggapan seperti ini.
Ia langsung memberi anggota-anggota militernya ijin untuk mengambil-alih
perusahaan-perusahaan itu dari para buruh.
Biro
Politik PKI bergegas membantu Sukarno dengan mengeluarkan resolusi
untuk mengimbau rakyat untuk memecahkan secepatnya dengan perundingan
perbedaan pendapat tentang cara-cara perjuangan melawan imperialisme
Belanda, dengan demikian persatuan rakyat, antara rakyat, pemerintah dan
angkatan bersenjata dapat diperkuat."
Bersamaan
dengan itu, PKI mengimbau para pekerja "jangan hanya menjalankan
perusahaan-perusahaan yang diduduki, tetapi buat mereka bekerja lebih
displin dan lebih baik dalam meningkatkan produksi.
"Pemerintah
harus mengambil keputusan yang mampu dan patriotis untuk
perusahaan-perusahaan ini, dan para pekerja harus menunjang keputusan
ini dengan seluruh kekuatan mereka."
Tambahan
pula, PKI menegaskan bahwa pengambil-alihan itu hanya berlaku terhadap
perusahaan-perusahaan Belanda, mencoba menentramkan hati imperialisme AS
dan Inggris dengan mengatakan bahwa kepentingan mereka tidak akan
terganggu:"Semua pergerakan-pergerakan buruh, petani dan
organisasi-organisasi pemuda ditujukan ke kapitalis-kapitalis Belanda.
Negara-negara kapitalis yang lainnya tidak bersikap bermusuhan dalam
perang antara Belanda dan Indonesia di Irian Barat. Karena itu, tidak
ada aksi terhadap perusahaan kapitalis-kapitalis dari negara lain."
Mengenali
usaha-usaha PKI untuk mematahkan pergerakan massa, Tillman Durdin
menulis di "New York Times" tanggal 16 Desember:"Anggota-anggota Badan
Penasehat National yang berorientasi Komunis diketahui telah menentang
dengan tegas penyitaan-penyitaan yang dilakukan oleh para pekerja dan
mengatakan bahwa pergerakan-pergerakan itu adalah 'anarko-sindikalisme'
tak berdisiplin. Para Komunis membela program penyitaan yang
dilangsungkan oleh pemerintah seperti sekarang ini.
Sukarno
sendiri telah bersiap-siap meninggalkan negara untuk sebuah "liburan"
di India, tetapi penyerahan perusahaan-perusahaan Belanda kepada pihak
militer di bawah instruksi PKI telah menyelamatkan rejim burjuis
Sukarno. Para pemimpin Stalinis dalam PKI tidak hanya menyelamatkan
pemerintah Sukarno, mereka menimbulkan kondisi yang mengijinkan
jendral-jendral militer dan penyokong mereka di AS untuk mempersiapkan
kontra-revolusi berdarah mereka delapan tahun setelah itu.
Perspektif
para pemimpin PKI adalah teori Stalinis "revolusi dua tahap" _ yang
mengatakan bahwa perjuangan untuk sosialisme di Indonesia harus pertama
melalui tahap apa yang dinamakan kapitalisme "demokratis". Perjuangan
revolusi massa untuk memperlakukan langkah-langkah sosialis harus
ditekan dan kepentingannya dikebawahkan ke sebuah "persatuan" dengan
kelas burjuis nasional.
Sejalan
dengan perspektif reaksioner ini, birokrasi-birokrasi Stalinis di
Uni-Sovyet dan Cina mengelu-elukan Sukarno dan rejimnya di dalam period
ini. Sebagai contoh, Kruschev mengunjungi Jakarta dan berkata bahwa ia
akan memberi Sukarno semua bantuan dalam "segala kemungkinan".
Kenyataannya, sebagian besar senjata-senjata yang digunakan dalam
pembunuhan massa dalam kudeta 1965 adalah disediakan oleh Kremlin.
Permulaan Persiapan Militer
Di
tahun 1956 tentara Indonesia, dengan sokongan Amerika, sudah memulai
persiapan-persiapan untuk diktatur militer untuk menekan pergerakan
rakyat. Di bulan Agustus Komandan militer daerah Jawa Barat
memerintahkan penangkapan Menteri Luar Negeri Roeslan Abdulgani atas
tuduhan-tuduhan korupsi. Di bulan November, Wakil Kepala angkatan
bersenjata Kolonel Zulkifli Lubis, mencoba dengan kegagalan untuk
menguasai Jakarta dan menggulingkan pemerintahan Sukarno. Bulan
berikutnya, ada kudeta militer di daerah Sumatra Tengah dan Utara.
Pada
bulan Oktober 1956 Sukarno memperkuat kedudukannya terhadap rakyat dan
menenangkan angkatan bersenjata dengan mengimbau partai-partai politik
untuk membubarkan diri. Imbauan ini setelah itu diperluas dengan usaha
untuk mendirikan Dewan Nasional yang mencakup semua partai, termasuk
PKI, untuk mengatur negara. Bilamana para kepala daerah militer menolak
rencana ini, dan mengambil-alih kekuasaan provinsi-provinsi mereka,
Sukarno mengumumkan keadaan darurat. Akhirnya, kabinet "non-partai" yang
baru dibentuk, termasuk dua pengikut PKI.
Sebagai
reaksi terhadap pergerakan massa di Desember 1957 itu, operasi
imperialisme Amerika segera ditingkatkan. CIA sudah aktif sejak tahun
1940-an, mengeluarkan jutaan dollar untuk menyubsidi elemen-elemen
pro-Amerika di dalam kelas burjuis nasional, terutama Partai Sosialis
Indonesia yang dipimpin Sumiro, kolega Hatta, dan sekutu islamnya yang
lebih besar, Partai Masyumi yang dipimpin oleh Syarifuddin
Prawiranegara, dengan siapa Hatta juga mempunyai hubungan dekat.
Sepanjang
tahun 1957 dan 1958 serangkaian pemberontakan sesesesionis dan
sayap-kanan yang dibantu oleh CIA meletus di pulau Sumatra dan Sulawesi
yang kaya minyak bumi, di mana PSI dan Masyumi mempunyai pengaruh
dominan.
Yang
pertama adalah pemberontakan militer Permesta yang mulai di bulan Maret
1957 dan berlangsung sampai ke tahun 1958, yang berakhir dengan
percobaan kudeta yang didukung oleh CIA di bulan February 1958.
Pemerintah
Amerika Serikat memberikan dukungan keuangan yang cukup besar,
penasehat-penasehat militer, senjata dan angkatan udara kecil yang
terdiri dari pesawat-pesawat pembom B-26, dipiloti dari basis-basis di
Taiwan dan Filipina. Menteri Luar Negeri AS bahkan memberikan dukungan
secara terbuka untuk pemberontak-pemberontak sayap-kanan ini. Kapal
induk dari armada ketujuh Amerika dikirim ke Singapor dan sewaktu itu
kelihatannya Amerika bakal campur-tangan secara langsung di Sumatra
dengan alasan melindungi pegawai-pegawai dan pemilikan-pemilikan Caltex
Oil.
Komando
militer Indonesia akhirnya memutuskan bahwa pemberontakan itu, gagal
mendapatkan dukungan massa, harus dihentikan. Pemerintahan Sukarno
selamat.
Tetapi,
angkatan bersenjata menjadi lebih kuat. Selama enam tahun berikutnya,
AS menuangkan uang untuk itu, meletakkan fondasi yang mengijinkan
Suharto untuk mulai menempuh jalan ke kekuasaaan setelah memimpin
operasi militer untuk mengambil-alih Irian Jaya di tahun 1962.
Antara
tahun 1959 dan tahun 1965 Amerika Serikat memberikan 64 juta dollar
dalam rupa bantuan militer untuk jendral-jendral militer Indonesia.
Menurut laporan di Suara Pemuda Indonesia:"Sebelum akhir tahun 1960,
Amerika Serikat telah melengkapi 43 batalion angkatan bersenjata. Tiap
tahun AS melatih perwira-perwira militer sayap-kanan. Di antara tahun
1956 dan 1959, lebih dari 200 perwira tingkatan tinggi telah dilatih di
AS, dan ratusan perwira angkatan rendah terlatih setiap tahun. Kepala
Badan untuk Pembangunan Internasional di Amerika pernah sekali
mengatakan bahwa bantuan AS, tentu saja, bukan untuk mendukung Sukarno
dan bahwa AS telah melatih sejumlah besar perwira-perwira angkatan
bersenjata dan orang sipil yang mau membentuk kesatuan militer untuk
membuat Indonesia sebuah "negara bebas".
Pada
waktu yang sama, Sukarno menjalankan sistem "Demokrasi Terpimpin"-nya.
Pada bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Sukarno menetapkan
konstitusi di bawah dekrit presiden - sekali lagi dengan dukungan penuh
dari PKI. Ia memperkuat tangan angkatan bersenjata dengan mengangkat
para jendral militer ke posisi-posisi yang penting.
PKI
menyambut "Demokrasi Terpimpin" Sukarno dengan hangat dan anggapan
bahwa dia mempunyai mandat untuk persekutuan Konsepsi yaitu antara
nasionalisme, Islam dan komunisme yang dinamakan NASAKOM.
Dalam
mengejar front nasional mereka bersama dengan Sukarno dan kelas burjuis
nasional, para pemimpin PKI menimbulkan ilusi-ilusi yang sangat
berbahaya tentang angkatan bersenjata.
Hanya
lima tahun sebelum kekalahan berdarah itu terjadi kepada para pekerja
dan petani di tangan angkatan bersenjata, arahan politis PKI dinyatakan
oleh kepemimpinan SOBSI, federasi serikat pekerja yang dipimpin oleh
PKI, dalam sebuah pernyataan di Hari Buruh Internasional bulan Mei 1960:
"SOBSI
menegakkan bahwa angkatan bersenjata Republik masih merupakan anak dari
revolusi rakyat...dan dengan itu dari para perwira sampai ke bawahan
mereka dan ke tentara-tentara...mereka tidak akan terlibat dengan
aksi-aksi yang mengkhianati Republik. Selain itu, presiden Sukarno, yang
memihak rakyat, mempunyai pengaruh besar atas pemimpin-pemimpin
angkatan bersenjata dan ia tidak berkehendak menjadi diktator militer."
Pergerakan Baru
Di
tahun 1962, perebutan militer Irian Barat oleh Indonesia mendapat
dukungan penuh dari kepemimpinan PKI, mereka juga mendukung penekanan
perlawanan penduduk Irian Jaya terhadap pendudukan itu.
Di
Indonesia sendiri, ketegangan ekonomi dan kelas yang mendasar, yang
diakibatkan oleh berlanjutnya pemerasan rakyat oleh
perusahaan-perusahaan imperialis dan kelas burjuis nasional, muncul
kembali.
Era
"Demokrasi Terpimpin", yaitu kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan
kaum burjuis nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan independen
kaum buruh dan petani, gagal memecahkan masalah-masalah politis dan
ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor menurun, foreign reserves
menurun, inflasi terus menaik dan korupsi birokrat dan militer menjadi
wabah.
Dari
tahun 1963 terus, kepemimpinan PKI makin lama makin berusaha
menghindari bentrokan-bentrokan antara aktivis massanya dan polisi dan
militer. Pemimpin-pemimpin PKI mementingkan "kepentingan bersama" polisi
dan "rakyat". Pemimpin PKI D N Aidit mengilhami slogan "Untuk
Ketentraman Umum Bantu Polisi".
Pada
bulan April 1964, dalam interview dengan S M Ali dari "Far Eastern
Economic Review" Aidit menetapkan untuk kaum burjuis nasional perspektif
Stalinis untuk perubahan yang damai dan berangsur-angsur ke arah
sosialisme yang terdiri dari "dua tahap" di Indonesia.
"Bila
kita sudah mencapai tahap pertama dari revolusi kita, yang sedang
berlangsung sekarang, kita akan bisa mengadakan konsultasi yang damai
dengan elemen-elemen progresif lain di masyarakat kita dan tanpa
perjuangan bersenjata kita akan membawa negara kita ke revolusi
sosialis."
Dia
memberikan sebuah senario di mana rakyat akan terbatas dalam fungsi
mempengaruhi kaum burjuis nasional:"Pengaruh dari tahap sekarang dari
revolusi ini akan menetapkan pengaruh revolusioner atas
kapitalis-kapitalis nasional Indonesia.
"Tidak
akan ada perjuangan bersenjata kecuali bila ada intervensi asing
memihak para kapitalis. Dan bila kita berhasil menyelesaikan tahap ini
dalam revolusi demokratik nasional kita, kemungkinan satu kekuatan asing
bercampur-tangan dalam urusan nasional Indonesia akan menjadi sangat
kecil."
Di
bulan Agustus 1964, Aidit menganjurkan semua anggota PKI membersihkan
diri dari "sikap-sikap sektarian" kepada angkatan bersenjata, mengimbau
semua pengarang dan seniman sayap-kiri untuk membuat "massa tentara"
subyek karya-karya mereka.
Di
akhir 1964 dan permulaan 1965 ratusan ribu petani bergerak merampas
tanah dari para tuan tanah besar. Bentrokan-bentrokan besar terjadi
antara mereka dan polisi dan para pemilik tanah. Untuk mencegah
berkembangnya konfrontasi revolusioner itu, PKI mengimbau semua
pendukungnya untuk mencegah pertentangan menggunakan kekerasan terhadap
para pemilik tanah dan untuk meningkatkan kerjasama dengan unsur-unsur
lain, termasuk angkatan bersenjata.
Dalam
sebuah pertemuan Komite Sentral PKI Aidit mendorong penindasan
pergerakan para petani itu dan mencela kader partai yang "terbawa oleh
semangat untuk menyebar-luaskan pergerakan petani dan menjadi tidak
sabar dan melakukan tindakan heroisme individual, tidak berpikir untuk
mengembangkan kesadaran para petani dan menginginkan suatu kejadian yang
tertentu, tidak berhati-hati dalam memisahkan dan memilih target-target
mereka."
Para
pemimpin PKI menghalalkan pemberhentian perampasan tanah dan
pengembalian ke pemilik-pemiliknya dengan menunjuk kepada "kemungkinan
yang akan datang untuk pembentukan "kabinet NASAKOM".
Pada
permulaan 1965, para buruh mulai menyita perusahaan-perusahaan karet
dan minyak milik AS. Kepemimpinan PKI menjawab ini dengan memasuki
pemerintahan dengan resmi. Pada waktu yang sama, jendral-jendral militer
tingkat tinggi juga menjadi anggota kabinet.
Menteri-menteri
PKI tidak hanya duduk di sebelah para tukang jagal militer di dalam
kabinet Sukarno ini, tetapi mereka terus mendorong ilusi yang sangat
berbahaya bahwa angkatan bersenjata adalah merupakan bagian dari
revolusi demokratis "rakyat".
Aidit
memberikan ceramah kepada siswa-siswa sekolah angkatan bersenjata di
mana ia berbicara tentang "perasaan kebersamaan dan persatuan yang
bertambah kuat setiap hari antara tentara Republik Indonesia dan
unsur-unsur masyarakat Indonesia, termasuk para komunis".
Dengan
cara ini, para Stalinis dalam PKI melucuti para pekerja dalam PKI yang
paling sadar akan kelasnya. Pengertian dasar Marxis tentang negara
sebagai "badan orang-orang bersenjata" yang digunakan oleh kelas
penguasa untuk menjaga kekuasaannya telah disangkal secara kriminal.
Aidit
berusaha secepatnya untuk menenangkan kaum burjuis dan
pemimpin-pemimpin angkatan bersenjata bahwa PKI menentang mobilisasi
revolusioner massa. "Hal yang penting di Indonesia sekarang bukanlah
meruntuhkan kekuatan negara seperti halnya di negeri-negeri lain, tetapi
memperkuat dan mendalamkan aspek pro-rakyat...dan menyingkirkan aspek
anti-rakyat".
Rejim
Sukarno mengambil langkah terhadap para pekerja dengan melarang
aksi-aksi mogok di industri. Kepemimpinan PKI tidak berkeberatan karena
industri menurut mereka adalah milik pemerintahan NASAKOM.
Tidak
lama sebelum kudeta terjadi, PKI, mengetahui dengan jelas
persiapan-persiapan untuk rejim militer, menyatakan keperluan untuk
pendirian "angkatan kelima" di dalam angkatan bersenjata, yang terdiri
dari pekerja dan petani yang bersenjata. Bukannya memperjuangkan
mobilisasi massa yang berdiri sendiri untuk melawan ancaman militer yang
sedang berkembang itu, kepemimpinan PKI malah berusaha untuk membatasi
pergerakan massa yang makin mendalam ini dalam batas-batas hukum
kapitalis negara.
Mereka
bahkan menyembah di depan jendral-jendral militer, berusaha menenangkan
mereka bahwa usul PKI akan memperkuat negara. Aidit menyatakan dalam
laporan ke Komite Sentral PKI bahwa "NASAKOMisasi" angkatan bersenjata
dapat dicapai dan mereka akan bekerjasama untuk menciptakan "angkatan
kelima". Sampai akhir, kepemimpinan PKI berusaha menekan aspirasi
revolusioner kaum buruh di Indonesia.
Meskipun
di bulan Mei 1965, Politbiro PKI masih mendorong ilusi bahwa aparatus
militer dan negara sedang dirubah untuk memecilkan aspek anti-rakyat
dalam alat-alat negara:
"Kekuatan
dari aspek-aspek pro-rakyat (dalam aparatus negara) sudah bertambah
kuat dan mempunyai inisiatif dan ofensif, dan aspek anti-rakyat,
walaupun masih cukup kuat, sedang terpojok. PKI berjuang supaya aspek
pro-rakyat akan menjadi bertambah kuat dan akan berkuasa dan aspek
anti-rakyat akan dikeluarkan dari kekuasaan negara."
Kaum
buruh Indonesia dan seluruh dunia membayar mahal untuk pengkhianatan
Stalinis ini waktu Suharto dan jendral-jendral militer bergerak pada
tanggal 30 September 1965.
BAB KETIGA
1965-Warisan Berdarah Stalinisme
Kudeta
di Indonesia tanggal 1-2 Oktober 1965 adalah hasil dari sebuah operasi
yang sudah lama direncanakan secara hati-hati oleh CIA dan
komandan-komandan militer TNI yang dilatih oleh AS.
Selama
tahun 1965 perselisihan-perselisihan antara kelas meningkat. Tahun itu
mulai dengan para petani merampas pemilikan para tuan tanah besar dan
pekerja-pekerja di perusahaan-perusahaan karet dan minyak bumi milik AS
melakukan aksi pendudukan. Presiden Sukarno telah memasukkan
jendral-jendral militer, yang dipimpin oleh Jendral Nasution, dan
kepemimpinan PKI ke dalam kabinetnya untuk menekan pergerakan ini.
Kepemimpinan
PKI berhasil menekan aksi-aksi pendudukan, tetapi pergerakan massa ini
menjadi semakin sulit untuk dikendalikan. Kemarahan massa berkembang
dengan dipenjaranya 23 petani, dengan hukuman antara 15 sampai 20 tahun,
atas tuduhan memukuli seorang tentara sampai fatal dalam mempertahankan
diri mereka terhadap operasi militer untuk menghentikan aksi-aksi
perampasan tanah di Sumatra.
Pada
malam 30 September 1965, sebuah provokasi yang didalangi CIA
dilaksanakan. Sekelompok perwira menengah, yang paling sedikit satu
mempunyai koneksi dekat dengan Suharto, menahan dan membunuh komandan
angkatan bersenjata Letnan-Jendral Ahmad Yani dan lima jendral tingkat
atas yang lain, dan menyatakan pembentukan sebuah Dewan Revolusioner.
Penculikkan
jendral-jendral ini tidak mencakup dua orang penting. Yang pertama
adalah Suharto, yang pada waktu itu adalah komandan Kostrad, yang
terdiri dari tentara-tentara elit angkatan darat. Para pemberontak ini,
yang dipimpin oleh Letnan-Kolonel Untung tidak berusaha sedikit pun
untuk menangkap Suharto atau menyerang pusat komandonya di Jakarta
walaupun ia mempunyai kemampuan untuk melaksanakan hal ini. Menteri
Pertahanan Jendral Nasution, juga tidak dicakup. Dia dikatakan sebagai
calon korban pemberontakan ini, tetapi dapat menyelamatkan diri secara
ajaib.
Pemberontakan
oleh Untung ini adalah palsu. Dalam 24 jam Suharto dapat mengalahkan
semua pemberontak ini, hampir tanpa ada peluru melayang, dan
mengambil-alih kontrol di Jakarta, dengan dukungan dari Nasution.
Di
akhir minggu itu, komando yang dibentuk oleh Suharto membersihkan semua
kantong-kantong perlawanan, dan melaksanakan pembantaian anti-komunis
terbesar di sejarah yang didalangi oleh Kedutaan AS dan CIA. Pentagon
dan CIA, yang pada waktu itu sudah terlibat dalam perang rahasia di
Vietnam, bertekad untuk menenggelamkan revolusi Indonesia dalam darah.
Diplomat-diplomat
AS dan perwira-perwira CIA, dipimpin oleh Duta Besar AS untuk
Indonesia, Marshall Green, bekerja sama dengan tukang-tukang jagal
Suharto untuk membasmi setiap anggota dan pendukung PKI yang diketahui.
Bencana yang Didalangi CIA
Dalam
mempersiapkan kudeta ini, pejabat-pejabat AS sudah menghabiskan paling
sedikit dua tahun untuk membuat daftar-daftar maut ini yang diberikan
kepada angkatan bersenjata dengan instruksi yang jelas: bunuhlah
semuanya. Anak-buah Suharto diperintahkan untuk melapor kembali setiap
sejumlah pembunuhan telah dilaksanakan supaya nama-nama korban mereka
dapat dicocokkan dengan nama-nama di daftar-daftar itu.
Beberapa
perwira-perwira AS yang berikut-serta mengatakan baru-baru ini apa yang
terjadi. "Itu adalah bantuan yang besar untuk angkatan bersenjata,"
kata seorang bekas pejabat bagian politik di Duta Besar AS di Jakarta,
Robert Martens. "Mereka mungkin membunuh banyak orang dan saya mungkin
punya darah di tangan saya, tetapi itu tidak semuanya jelek."
"Suatu waktu kamu harus memukul keras pada waktu yang tepat."
Martens
memimpin pejabat-pejabat CIA dan Departemen Luar Negeri di kedutaan
besar AS, yang dari tahun 1962, menyusun keterangan mendetil tentang
siapa saja yang duduk di dalam kepemimpinan PKI. Itu termasuk nama-nama
anggota komite-komite PKI di tingkat provinsi, kota dan lokal; dan
pemimpin-pemimpin perserikatan-perserikatan kerja yang didukung PKI, dan
perserikatan-perserikatan wanita dan pemuda.
Operasi
ini didalangi oleh bekas direktur CIA William Colby, yang pada waktu
itu adalah direktur Divisi Asia Timur CIA, dan dengan itu menjadi
bertanggung-jawab atas pengarahan strategi rahasia AS di Asia. Colby
mengatakan bahwa mencari pengetahuan tentang kepemimpinan PKI menjadi
latihan untuk program Phoenix di Vietnam, yang merupakan usaha untuk
memusnahkan semua pendukung Front Kemerdekaan Nasional di akhir dekade
1960-an.
Colby
mengakui bahwa mengecek nama-nama di daftar-daftar maut itu dianggap
sangat penting sampai itu diawasi oleh direktorat intelijen CIA di
Washington. "Kita berkesimpulan bahwa dengan perlakuan secara keji
seperti itu, PKI telah mengalami kemunduran yang besar."
Wakil
kepala pos CIA menggambarkan dengan rasa senang yang tak tersembunyi
bagaimana markas Suharto di Jakarta memberikan kedutaan besar AS laporan
secara berlanjut tentang pencakupan dan pembunuhan pemimpin-pemimpin
PKI. "Kita mendapatkan laporan yang jelas di Jakarta tentang siapa yang
dicakup. Angkatan bersenjata mempunyai 'daftar penembakan' untuk sekitar
4,000 sampai 5,000 orang.
"Mereka
tidak punya cukup tentara untuk membinasakan mereka semua, dan beberapa
orang masih berharga untuk diinterogasi. Rangka dasar organisasi mereka
telah runtuh hampir seketika itu. Kita tahu apa yang mereka kerjakan.
Kita tahu bahwa mereka akan menyelamatkan beberapa untuk pengadilan
pura-pura mereka, tetapi Suharto dan penasehat-penasehatnya berkata bila
kamu biarkan mereka hidup kamu harus memberi mereka makan."
Semua
ini dijalankan dengan persetujuan Green yang setelah itu dilantik
menjadi duta besar AS untuk Australia, di mana ia memainkan peranan
penting dalam pembubaran pemerintah Whitlam di tahun 1975.
Paling
sedikit satu juta orang dibantai dalam bencana enam bulan yang
mengikuti kudeta itu. Ini adalah perkiraan dari sebuah kelompok lulusan
Universitas Indonesia yang diperintah oleh angkatan bersenjata itu
sendiri untuk menyelidiki kesebar-luasan pembunuhan-pembunuhan ini.
Dihasut
dan dibantu oleh tentara, kelompok-kelompok pemuda dari
organisasi-organisasi muslim sayap-kanan melakukan pembunuhan-pembunuhan
massa, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ada laporan-laporan
bahwa Sungai Brantas di dekat Surabaya menjadi penuh mayat-mayat sampai
di tempat-tempat tertentu sungai itu "terbendung mayat". Laporan lain
mengatakan bahwa di Batu di Jawa Timur banyak sekali yang dibunuh di
halaman kecil kantor polisi di sana sampai mayat-mayat itu dikubur di
bawah semen.
Di
pulau Bali, yang sebelum itu dianggap sebagai kubu PKI, paling sedikit
35,000 orang menjadi korban di permulaan 1966. Di sana para Tamin,
pasukan komando elite Partai Nasional Indonesianya Sukarno, adalah
pelaku pembunuhan-pembunuhan ini. Koresponden khusus dari Frankfurter
Allgemeine Zeitung bercerita tentang mayat-mayat di pinggir jalan atau
dibuang ke dalam galian-galian dan tentang desa-desa yang separuh
dibakar di mana para petani tidak berani meninggalkan kerangka-kerangka
rumah mereka yang sudah hangus.
Di
daerah-daerah lain, para terdakwa dipaksa untuk membunuh teman-teman
mereka untuk membuktikan kesetiaan mereka. Di kota-kota besar
pemburuan-pemburuan anti-cina terjadi. Pekerja-pekerja dan
pegawai-pegawai pemerintah yang mengadakan aksi mogok sebagai protes
atas kejadian-kejadian kontra-revolusioner ini dipecat.
Paling
sedikit 250,000 orang pekerja dan petani dipenjarakan di kamp-kamp
konsentrasi. Diperkirakan sekitar 110,000 orang masih dipenjarakan
sebagai tahanan politik pada akhir 1969. Eksekusi-eksekusi masih
dilakukan sampai sekarang, termasuk beberapa dozen sejak tahun 1980-an.
Baru-baru ini empat tapol, Johannes Surono Hadiwiyino, Safar Suryanto,
Simon Petrus Sulaeman dan Nobertus Rohayan, dihukum mati hampir 25 tahun
sejak kudeta itu, tanda jelas bahwa rejim Suharto masih menakuti
kebangkitan kaum proletar Indonesia dan petani-petani yang miskin.
Pengkhianatan Stalinis mendalam
Ketika
ratusan ribu anggota dan pendukung PKI sedang diburu dan dibinasakan,
kepemimpinan PKI dan rekan-rekannya di Kremlin, Beijing dan Partai
Komunis Australia (CPA) menganjurkan kader PKI, pekerja dan massa petani
untuk tidak melawan, memberikan lampu hijau untuk jendral-jendral
militer untuk melakukan eksekusi massa itu.
Para
Stalinis mendalamkan posisi reaksioner mereka yang meminta rakyat untuk
mengebawahkan kepentingan mereka untuk kaum burjuis nasional dan
Sukarno, yang digunakan oleh Suharto sebagai presiden boneka dan untuk
angkatan bersenjata.
Pada
tanggal 1 Oktober 1965 Sukarno dan sekretaris jendral PKI Aidit
menanggapi pembentukan Dewan Revolusioner oleh para "pemberontak" dengan
berpindah ke Pangkalan Angkatan Udara Halim di Jakarta untuk mencari
perlindungan.
Pada
tanggal 6 Oktober Sukarno mengimbau rakyat untuk menciptakan "persatuan
nasional", yaitu persatuan antara angkatan bersenjata dan para
korbannya, dan penghentian kekerasan. Biro Politik dari Komite Sentral
PKI segera menganjurkan semua anggota dan organisasi-organisasi massa
untuk mendukung "pemimpin revolusi Indonesia" dan tidak melawan angkatan
bersenjata. Pernyataan ini dicetak ulang di koran CPA bernama
"Tribune":
"Setelah
mempelajari seruan ke Panglima Tertinggi angkatan bersenjata Republik
Indonesia, dari pemimpin revolusi Indonesia, presiden Sukarno, Biro
Politik Komite Sentral Partai Komunis Indonesia menyatakan dukungan
penuh untuk seruan itu dan memohon kepada semua komite dan anggota
partai dan para pendukung, juga organisasi-organisasi revolusioner massa
yang dipimpin oleh anggota-anggota PKI untuk memungkinkan pelaksanaan
seruan itu."
Sementara
itu, Sukarno, "pemimpin revolusi Indonesia", sedang bekerjasama dengan
penindasan militer itu berharap untuk menyelamatkan lehernya sendiri.
Dia memerintahkan pembasmian menyeluruh semua yang dianggap terlibat
dalam "peristiwa 30 September" (percobaan kudeta yang dituduhkan
dipimpin oleh Kolonel Untung), dan mengijinkan pencakupan dan pembunuhan
pemimpin-pemimpin PKI. Pada tanggal 15 Oktober ia melantik Suharto
sebagai Panglima angkatan bersenjata.
Lima
bulan setelah itu, pada tanggal 11 Maret 1966, Sukarno memberi Suharto
kekuasaan tak terbatas. Ia memerintah Suharto untuk mengambil
"langkah-langkah yang sesuai" untuk mengembalikan ketenangan dan untuk
melindungi keamanan pribadi dan wibawanya. Kekuatan tak terbatas ini
pertama kali digunakan oleh Suharto untuk melarang PKI. Sebagai
penghargaan atas jasa-jasanya, Sukarno dipertahankan sebagai presiden
tituler diktatur militer itu sampai Maret 1967.
Kepemimpinan
PKI terus mengimbau massa agar menuruti kewenangan rejim
Sukarno-Suharto. Aidit, yang telah melarikan diri, ditangkap dan dihukum
mati oleh angkatan bersenjata pada tanggal 24 November, tetapi
pekerjaannya diteruskan oleh Sekretaris Kedua PKI Nyoto. Dalam sebuah
interview dengan seorang koresponden koran Jepang dia menekankan:
"PKI
hanya mengenal satu kepala negara, satu komandan tertinggi, satu
pemimpin besar revolusi kita - Presiden Sukarno...Presiden Sukarno
menyatukan semua kekuatan-kekuatan rakyat yang akan memutuskan nasib
Indonesia."
Semua
anggota, kata Nyoto, harus "mendukung penuh perintah-perintah Presiden
Sukarno dan berjanji untuk melaksanakan semua itu tanpa ragu...Partai
kita berusaha dalam segala kemampuannya untuk mencegah perang saudara."
Dalam
kata-kata lain, sementara tukang-tukang jagal militer dan
penasehat-penasehat CIA mereka sedang melakukan likuidasi sistematis
bukan saja pemimpin-pemimpin PKI, tetapi juga seksi-seksi masyarakat
Indonesia yang paling sadar-kelas, PKI memerintahkan kader mereka untuk
tidak melawan.
Kebangkrutan
dan kebusukan teori "dua-tahap" Stalinis yang bersikeras bahwa rakyat
harus mengikat nasib mereka ke Sukarno dan kaum burjuis nasional tidak
dapat ditunjukkan secara lebih jelas.
Pengkhianatan
oleh PKI dipuji dan didukung oleh birokrasi-birokrasi Stalinis di
Moskow dan Beijing. Kremlin menyalahkan elemen-elemen "pemberontak" dan
"petualang" dalam PKI untuk kekalahan ini dan mengimbau berulang-ulang
untuk "persatuan" revolusi Indonesia dalam NASAKOM-nya Sukarno.
Pada
tanggal 12 Oktober 1965, pemimpin-pemimpin Uni-Sovyet Brezhnev, Mikoyan
dan Kosygin mengirim pesan khusus untuk Sukarno:"Kita dan rekan-rekan
kita bergembira untuk mendengar bahwa kesehatan anda telah
membaik...Kita mendengar dengan penuh minat tentang pidato anda di radio
kepada seluruh rakyat Indonesia untuk tetap tenang dan menghindari
kekacauan...Imbauan ini akan dimengerti secara mendalam."
Dalam
sebuah Konperensi Tiga Benua di Havana di bulan February 1966,
perwakilan Uni-Sovyet berusaha dengan segala kemampuan mereka untuk
menghindari pengutukan teror kontra-revolusi yang sedang terjadi
terhadap rakyat Indonesia. Pendirian mereka mendapatkan pujian dari
rejim Suharto. Parlemen Indonesia mengesahkan resolusi pada tanggal 11
Februari, menyatakan "penghargaan penuh" atas usaha-usaha
perwakilan-perwakilan dari Nepal, Mongolia, Uni-Sovyet dan negara-negara
lain di Konperensi Solidaritas Negara-Negara Afrika, Asia dan Amerika
Latin, yang berhasil menetralisir usaha-usaha para kontra-revolusioner
apa yang dinamakan pergerakan 30 September, dan para pemimpin dan
pelindung mereka, untuk bercampur-tangan di dalam urusan dalam negeri
Indonesia."
Demikian,
pengkhianatan para Stalinis adalah sangat jelas sampai parlemen piaraan
junta militer ini dapat mengatakan bahwa kejadian yang diatur oleh CIA
pada tanggal 30 September adalah percobaan kontra-revolusioner!
Para
Stalinis di Beijing juga mencuci tangan mereka dari nasib rakyat
Indonesia. Mereka bahkan datang ke Jakarta untuk Konperensi Dunia
melawan Pangkalan-Pangkalan Asing dan berdiri tanpa protes waktu
kamerad-kamerad mereka dari Indonesia sedang dicakup di dalam ruang
konperensi itu.
Warisan 'Blok Empat Kelas'
Pengkhianatan
Stalinis di tahun 1965 adalah puncak dari lebih dari duapuluh tahun
pengkhianatan di mana PKI, bekerja berdasarkan teori Stalinis
"dua-tahap" dan, khususnya, ideologi Maois "blok empat kelas", mengikat
kelas pekerja dan para petani ke rejim burjuis nasionalis Sukarno.
Aidit
mengatakan susunan ideologi kekalahan berdarah revolusi Indonesia tidak
lama setelah kembalinya dari 18 bulan di Cina di Juli 1950 dan merebut
kepemimpinan PKI:
"Kelas pekerja, para petani, kelas menengah dan kelas burjuis nasional harus bersatu dalam sebuah front nasional."
Aidit
mengikuti dengan patuh jalan rejim Maois di Cina yang menindas
pergerakan mandiri kelas pekerja dan berusaha untuk mendirikan sebuah
"Demokrasi Baru", sebuah negara burjuis, dalam kerjasama dengan
bagian-bagian dari kelas burjuis nasional dan kelas petit burjuis
setelah runtuhnya diktatur Chiang Kai-Shek.
Membeokan
Mao, dia menyerukan untuk sebuah "demokrasi rakyat" dan sebuah "front
gabungan semua elemen-elemen anti-imperialis dan anti-feodal dalam
negeri. Yaitu, kaum pekerja, para petani, kaum petit-burjuis dan kaum
burjuis nasional."
Sesuai
dengan teori kontra-revolusioner "dua-tahap" Stalinisme, "Tugas dari
persekutuan ini adalah untuk membawa keadaan untuk, bukan sosialisme,
tetapi perubahan ke arah demokrasi."
Aidit
memminta para pekerja dan petani mendukung bukan hanya kelas burjuis
nasional, tetapi juga "semua elemen patriotik dan anti-kolonial termasuk
kelompok tuan-tanah sayap kiri (agak progresif).
Jurusan
inilah, yang dikatakan oleh Aidit tanpa henti, yang digunakan untuk
menekan pergerakan-pergerakan kaum pekerja dan para petani, mengikat
kaum pekerja ke rejim Sukarno, dan menciptakan keadaan yang mengijinkan
angkatan bersenjata untuk menyerang.
Berkali-kali
anggota-anggota dan para pendukung PKI diperintahkan untuk menahan
perjuangan kelas dan semangat revolusi rakyat yang tertindas untuk
mempertahankan "front bersatu nasional".
"Prinsip
dasar yang harus kita ikuti dalam melancarkan perjuangan nasional
adalah membawahkan kepentingan rakyat untuk perjuangan nasional."
Teori
"dua-tahap" Stalinisme bersikeras bahwa di negara-negara koloni dan
semi-koloni seperti Indonesia, rakyat tidak boleh mengadakan
pergerakan-pergerakan yang mengancam kelas burjuis nasional atau
mengemukakan program revolusi sosialis. Perjuangan kelas harus ditahan
untuk mendukung kelas burjuis nasional dan mendirikan sebuah demokrasi
kapitalis nasional.
Akibat
kontra-revolusi berdarah dari arahan Stalinis ini menunjukkan diri
pertama kali di Cina di tahun 1926-27 ketika tukang jagal Chiang
Kai-Shek menundukkan kelas pekerja di Cina setelah Partai Komunis di
sana diberi perintah oleh Kremlin untuk menggabungkan diri dengan kaum
burjuis nasionalis dalam Kuomintang.
Pembunuhan-pembunuhan
besar yang dilakukan oleh Chiang Kai-Shek menegaskan
peringatan-peringatan Trotsky bahwa kaum-kaum burjuis yang lemah dan
yang munculnya terlambat dalam sejarah, pada dasarnya tidak dapat untuk
melancarkan perjuangan konsisten terhadap imperialisme dan feodalisme.
Itu karena untuk melakukan perjuangan itu diperlukanlah penggerakan
rakyat dalam sebuah perjuangan revolusioner dan perjuangan seperti itu
akan segera menjadi berlawanan dengan posisi kelas kaum burjuis nasional
sebagai pemeras kaum pekerja dan petani.
Seperti Trotsky jelaskan dalam tulisannya tentang pengkhianatan Revolusi Cina:
Penggerakan
kaum pekerja dan petani terhadap imperialisme hanya dapat dicapai
dengan menghubungkan isu-isu dasar dalam kehidupan mereka dengan tujuan
kemerdekaan negara. Sebuah aksi mogok pekerja - besar atau kecil -
sebuah pemberontakan agraris, pergerakan para rakyat tertindas di kota
dan desa terhadap para lintah-darat, terhadap birokrasi, terhadap
militer lokal, semua itu membangkitkan banyak hal, yang menggalang
mereka bersama, yang mendidik, menguatkan, adalah merupakan sebuah
langkah maju yang nyata di jalan ke pembebasan sosial dan revolusioner
untuk rakyat Cina...Tetapi segala yang membuat rakyat yang tertindas dan
tereksploitasi bertindak akan pasti akan mendorong kaum burjuis
nasional ke dalam blok dengan para imperialis. Bentrokan kelas antara
kaum burjuis dan para pekerja dan petani tidak akan diperlemah, tetapi
sebaliknya akan diperkuat oleh penidasan imperialis, sampai ke perang
saudara pada setiap ketegangan serius. (Trotsky, Problems of the Chinese
Revolution, New Park 1969 p5).
Peranan
kriminal PKI dalam mengikat rakyat Indonesia ke rejim burjuis Sukarno
membuat analisa Trotsky bersifat ramalan secara tragis.
Tugas-tugas
untuk mengadakan kemerdekaan nasional yang sejati, pembagian kembali
tanah, demokrasi dan perkembangan ekonomi yang tak terselesaikan di
Indonesia dan negeri-negeri lain yang tertindas menurut sejarah, hanya
dapat dilaksanakan dengan kelas pekerja memimpin para petani dalam
revolusi sosialis. Yaitu, penentuan nasib sendiri hanya akan terjadi
sebagai hasil tambahan dari revolusi sosialis yang dipimpin oleh kaum
proletar.
Kemenangan perjuangan ini terikat erat dengan perkembangan revolusi sosialis dunia untuk menggulingkan imperialisme sedunia.
Ini
adalah dasar dari teori Marxis Revolusi Permanen yang dikembangkan oleh
Leon Trotsky dan dibuktikan oleh kemenangan Revolusi Rusia Oktober
1917.
BAB KEEMPAT
Antek-Antek Kontra Revolusi Pablois
Dalam
bulan-bulan setelah kudeta militer yang diatur oleh CIA tanggal 1-2
Oktober 1965, semua anggota dan pendukung PKI, semua partai kelas buruh
yang diketahui dan ratusan ribu pekerja dan petani Indonesia yang lain
dibunuh atau dimasukkan ke kamp-kamp konsentrasi untuk disiksa dan
diinterogasi.
Pemusnahan
sistematis dan penindasan yang kejam oposisi kelas buruh ini semakin
bertambah setelah 11 Maret 1966 waktu Sukarno, pemimpin nasionalis
burjuis yang dipertahankan oleh aparat militer sebagai presiden, memberi
Jendral Suharto kekuasaan tak terbatas.
Pengkhianatan
pergerakan besar revolusioner rakyat Indonesia oleh kepemimpinan
Stalinis PKI adalah sebuah kekalahan yang mendalam dengan
implikasi-implikasi besar untuk kelas pekerja seluruh dunia.
PKI
berkali-kali menahan usaha-usaha para pekerja dan petani untuk
menduduki pabrik-pabrik dan perkebunan-perkebunan. Mereka mengikat
pergerakan ini dengan rejim burjuis Sukarno dan pada akhirnya bergabung
dengan aparat-aparat tingkat atas militer yang didukung AS, calon-calon
tukang jagal massa, dalam kabinet Sukarno. Setelah kudeta itu, para
Stalinis memerintah kader mereka untuk menjalankan imbauan Sukarno untuk
menciptakan "persatuan" dengan para aparat militer dan untuk mencegah
segala perlawanan terhadap pembantaian yang sedang dilaksanakan.
Pukulan
terhadap revolusi Indonesia bergema di seluruh Asia dan dunia.
Khususnya itu memudahkan dan memungkinkan peningkatan penyerangan
Vietnam oleh AS, menghancurkan harapan dan semangat revolusi rakyat di
Malaysia, Thailand, Filipina dan memperkuat rejim-rejim burjuis yang
sedang goyah di anak benua India.
Mandel dan Hansen menutupi pengkhianatan Stalinis
Tetapi
jawaban para revisionis Pablois dalam "Sekretariat Tergabung" (United
Secretariat) yang dipimpin oleh Ernest Mandel dan Joseph Hansen, adalah
untuk meremehkan akibat dari pengkhianatan di Indonesia itu, menutupi
peran kontra-revolusioner para Stalinis dan, yang terpenting, menutupi
tanggung-jawab mereka sendiri dalam pertumpahan darah ini.
Pada
saat rakyat Indonesia sedang mengalami pembunuhan massa, Profesor
Mandel berusaha untuk menggambarkan prospek-prospek yang cerah untuk
revolusi Indonesia, untuk menumpulkan kesadaran kelas pekerja
internasional.
"Tentu
saja perjuangan di Indonesia masih belum berhenti," tulisnya di dalam
keenakkan kursi universitas Belgia-nya dalam artikel yang dicetak dalam
jurnal Pablois "World Outlook" tanggal 11 Maret 1966.
"Sebagian
dari kader komunis telah berhasil bersembunyi di bawah-tanah," dia
teruskan. "Kemarahan rakyat yang kelaparan tumbuh setiap hari;
perut-perut para pekerja dan petani yang kosong tidak akan terisi oleh
pembunuhan-pembunuhan itu. Pemberontakan itu akan menyebar-luas melawan
rejim yang korup itu. Sukarno mengerti masalah ini dan akan memulai
pengimbangannya lagi; dia baru saja membasmi jendral-jendral yang paling
ganas dari kabinetnya. Para rakyat akan kembali mendapat giliran mereka
untuk beraksi."
Penutupan
pengkhianatan besar rakyat Indonesia ini menunjukkan konsekuensi
kontra-revolusioner oportunisme Pablois, yang muncul dalam jajaran
gerakan Trotskyis mulai dari tahun-tahun 1940-an ke 1950-an.
Dipimpin
oleh Michel Pablo, elemen-elemen seperti Mandel berusaha menyesuaikan
diri dengan stabilisasi kapitalisme setelah Perang Dunia Kedua dan
keadaan dimana birokrasi-birokrasi Stalinis yang menekan pergerakan
revolusioner kaum pekerja internasional tidak lama setelah akhir Perang
Dunia Kedua, kelihatannya makin kuat. Mereka meninggalkan perjuangan
Trotsky untuk mendirikan Internasional Keempat sebagai partai dunia
revolusi sosialis dan mangajukan bahwa para birokrasi Stalinis seperti
di Moskow dan Bejing akan didorong oleh rakyat untuk melakukan peranan
progresif. Dengan dasar ini, mereka berusaha melikuidasi Internasional
Keempat ke dalam segala bentuk Stalinis atau Demokrat sosial yang sedang
memegang kendali pergerakan pekerja dalam tiap negara, mengatakan bahwa
jalan ke sosialisme terdiri dari pendirian dari negara-negara pekerja
yang cacat sejak lahir, seperti yang didirikan di Eropa Timur dan Cina,
yang berlangsung selama beberapa abad.
Pada
tahun 1953 arah likuidasi ini dilawan dengan pembentukan Komite
Internasional Internasional Keempat (International Committee of the
Fourth International) sebagai jawaban kepada sebuah Surat Terbuka yang
ditulis oleh pemimpin Partai Pekerja Sosialis (Socialist Workers Party)
Amerika James P Cannon yang memanggil untuk pemertahanan "Trotskyisme
ortodox". Bagaimanapun juga, pada permulaan tahun 1960-an para pemimpin
PPS sendiri mulai terpengaruh oleh berkepanjangannya pertumbuhan ekonomi
setelah perang. Mereka menganjungkan elemen-elemen burjuis dan
petit-burjuis nasional seperti Castro di Kuba yang kelihatannya dapat
meraih sukses, sebagai pengganti pengambilan kekuasaan oleh kelas
pekerja yang dipimpin oleh partai-partai Marxis revolusioner. Mereka
mengajukan bahwa sosialisme dapat dicapai dengan "senjata tumpul". Ini
adalah arah yang menyatukan mereka kembali dengan para Pablois di tahun
1963 yang menjadi "Sekretariat Tergabung".
Dasar
dari penolakan para Pablois kepada revolusi kaum proletar adalah metoda
obyektifis yang bersifat reaksioner ywng menggambarkan perjuangan
sosialisme sebagai "proses sejarah" quasi-otomatis yang dicapai dengan
pergerakan massa spontan yang dipimpin oleh pergerakan politik apa saja,
tidak penting apa program dan komposisi kelasnya.
Dengan
begitu "rakyat" Indonesia akan menang bagaimanapun buruknya krisis
pimpinan yang telah diakibatkan oleh kebusukan partai Stalinis itu.
Sukarno, yang diperalat oleh Jendral Suharto tanpa perlawanan, dianggap
telah mengontrol jendral-jendral yang paling ganas. Dan setelah
pengkhianatan yang tak tertanding itu, Mandel masih memanggil PKI partai
"komunis".
Penipuan
oleh Mandel ini disahkan oleh "Sekretariat Tergabung" dalam sebuah
pernyataan yang diterbitkan tanggal 20 Maret 1966. Pernyataan itu
menyimpulkan bahwa kenaikan Suharto sebagai "orang kuat" dari gerakan
kontra-revolusi tidak berarti banyak, karena "Itu adalah kemungkinan
yang sangat kecil bahwa para kontra-revolusionis yang berkuasa di
Jakarta sekarang akan dapat menciptakan kestabilan yang dapat tahan
lama."
Duapuluh
lima tahun setelah itu, dengan junta militer Suharto masih duduk tanpa
kasihan di atas punggung jutaan rakyat Indonesia yang tertindas, itu
sangatlah penting untuk mempelajari bagaimana para oportunis Pablois
memberikan PKI dan Sukarno kerudung politik yang sangat mereka perlukan.
Pernyataan
"Sekretariat Tergabung" itu menciptakan ilusi yang berbahaya yang
mengatakan bahwa pembunuh-pembunuh dibawah Suharto pun, yang dilatih
oleh AS, akan terdorong untuk melaksanakan kepentingan rakyat Indonesia
dalam "konfrontasi" palsu Sukarno dengan Malaysia, negara yang pada saat
itu baru dibentuk: "Para pemimpin militer sendiri tidak akan
menanggalkan ke-anti-imperialisme-an dan ke-nasionalis-an mereka yang
menunjukkan konflik kepentingan yang nyata dengan imperialisme Inggris
dan kaum burjuis komprador dan tuan tanah semi-feodal yang berkuasa di
Malaysia.
Ketika
rakyat Indonesia tidak punya pemimpin dalam menghadapi penjagalan keji
Suharto, para Pablois menyatakan dengan angkuh bahwa entah bagaimana
rakyat akan menang.
"Rakyat,
walaupun tanpa pemimpin dan tergoncang secara mendalam, belum
kehilangan semua potensi perlawanan, khususnya di desa-desa. Mengusir
para pemogok dari perkebunan-perkebunan milik imperialis atau yang sudah
"dinasionalisasi" dan dijalankan oleh perwira-perwira militer yang
korup, atau memaksa para pekerja perusahaan minyak bumi dan perkebunan
untuk menerima kembali kondisi kerja jaman kolonial akan terbukti sulit
terjadi."
Yang
terpenting, para Pablois terus bersikeras bahwa rakyat harus percaya
kepada para pemimpin Stalinis PKI, mengajukan bahwa mereka dapat
dipengaruhi untuk memainkan peranan revolusioner, meskipun mereka sudah
menahan setiap pergerakan massa terhadap rejim Sukarno.
"Jika
mereka berhasil bergabung kembali dan mendapat kembali dukungan massa
di beberapa daerah pedesaan dengan mengimbau para petani untuk segera
menyita tanah milik para tuan-tanah, perkebunan dan adminstrasi militer,
mereka dapat mencapai keuntungan secara bertahap karena ketidak-mampuan
dari reaksi Indonesia untuk memecahkan nasib ekonomi dasar negara dan
karena perselisihan dalam jajaran angkatan bersenjata yang tanpa ragu
akan dibangkitkan oleh ketidak-mampuan itu."
Di
tahun 1957, dan sekali lagi di tahun 1964-65, PKI telah mengarahkan
para pekerja dan petani untuk menyerahkan pabrik-pabrik, bank-bank,
instalasi-instalasi minyak, perkebunan-perkebunan dan
perusahaan-perusahaan lain yang mereka duduki, yang membantu kedudukan
Sukarno dan kaum burjuis Indonesia. Sekarang, para Pablois mengatakan
bahwa mereka dapat memainkan peranan progresif.
Artikel
Mandel dan pernyataan "Sekretariat Tergabung" dicetak bersama dengan
artikel oleh seorang anggota PKI Pablois, oleh Partai Pekerja Sosialis
AS dalam sebuah pamflet bernama "Bencana di Indonesia" tertanggal
Desember 1966. Lengkap dengan sebuah kata awal oleh Joseph Hansen,
seorang pemimpin PPS yang memainkan peranan busuk dalam pergabungan
kembali dengan para Pablois. Hansen, yang setelah itu diungkapkan
sebagai agen Stalinis yang menjadi alat FBI dalam PPS, merupakan
penghasut utama dalam perpecahan PPS dari KIIK di tahun 1963. Hansen
berusaha untuk menenangkan para pembaca pamflet ini bahwa "salah satu
ciri politik dunia sekarang" adalah "kecepatan rakyat untuk dapat
memulihkan diri dari kekalahan-kekalahan yang dulunya akan membuat
mereka tunduk selama puluhan tahun."
Ketidakperdulian
para Pablois kepada nasib rakyat Indonesia bukan hanya hasil dari
ketebalan kulit dan sikap merendahkan kelas pekerja mereka, yang
merupakan ciri-ciri golongan petit-burjuis, tetapi juga merupakan usaha
mereka untuk menutupi faktor kritis dalam pengkhianatan di Indonesia -
peranan yang dimainkan oleh para Pablois dan wakil-wakil mereka di
Indonesia sendiri.
Itu
adalah ukuran dari sinisme para Pablois dan sikap tunduk mereka kepada
para Stalinis dan kaum burjuis nasional bahwa tidak satupun dari
artikel-artikel dan pernyataan-pernyataan yang dicetak dalam pamflet
mereka di tahun 1966 menyebut keberadaan sebuah badan anggota dari
"Sekretariat Tergabung" di Indonesia, apalagi menerangkan peranan badan
itu dalam kejadian-kejadian sebelum kudeta.
Hanya
ada satu pernyataan pendek untuk pelegalisasian dan pembebasan semua
anggota PKI, Partai Murbah dan Partai Acoma, meskipun Partai Akoma
mempunyai hubungan dengan para Pablois sedikitnya mulai tahun 1953 dan
disahkan sebagai seksi "Sekretariat Tergabung" di tahun 1960, ketika PPS
Amerika sedang meningkatkan manuver-manuver tak berprinsip mereka untuk
bergabung kembali dengan para Pablois.
Penyebutan
pendek tentang anggota-anggota mereka ini adalah pernyataan bersalah
oleh para Pablois untuk menyembunyikan peranan yang mereka dan anak-anak
didik mereka mainkan dalam memberi Stalinis-Stalinis PKI kepercayaan
yang sangat mereka perlukan di tahun-tahun 1950an dan 1960an.
Bagaimana Munculnya Pabloisme di Indonesia
Partai
Acoma berasal sebagai pecahan dari PKI di tahun 1948. Dengan memanggil
diri mereka Trotsyis tanpa kebenaran, mereka menjadi pengalih dan
penjebak oposisi kelas pekerja dan para petani terhadap dukungan yang
diberikan PKI untuk rejim burjuis nasional Sukarno. Dipimpin oleh
seorang anggota parlemen bernama Ibnu Parna, dokumen-dokumen program
mereka menggambarkan PKI sebagai sebuah partai "Marxis-Leninis seperti
kita." Sebagai kita akan tunjukkan, ini adalah sebuah kebohongan dalam
hal PKI dan Partai Acoma.
Kebutuhan atas sebuah katup pengaman "Trotskyis" palsu seperti itu, ditunjukkan oleh kejadian-kejadian di tahun 1948.
Keterlibatan
PKI di dalam administrasi Sukarno setelah akhir Perang Dunia Kedua dan
dukungan mereka untuk perjanjian-perjanjian busuk kaum burjuis Indonesia
dan para kolonialis Belanda menimbulkan oposisi kuat di kalangan kelas
pekerja.
Dari
5 Juli 1947 sampai 23 January 1948 administrasi Republik di bawah
Sukarno dipimpin oleh Amir Syarifuddin yang berjabatan Perdana Menteri
dan Menteri Pertahanan. Syarifuddin adalah anggota rahasia PKI, juga
Wakil Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri. Tambahan pula, dua
menteri lain adalah anggota PKI secara terbuka. Administrasi ini
menandatangani Perjanjian Renville dengan Belanda yang menetapkan
kekuasaan Belanda atas sebagian besar dari industri gula, karet, kopi,
teh dan minyak bumi; menentukan pengunduran semua kesatuan-kesatuan
perang gerilya dari semua daerah yang dikuasai Belanda dan
melikuidasikan kesatuan-kesatuan rakyat bersenjata yang dipimpin PKI ke
dalam ABRI yang di bawah Sukarno dan jendral-jendralnya.
Begitu
kuatnya oposisi terhadap penandatanganan pakta yang diadakan oleh AS
ini sampai pemerintah turun dan diganti oleh pemerintahan sayap-kanan
yang dipimpin oleh Wakil Presiden Hatta sebagai Perdana Menteri.
Aksi-aksi
pemogokan meletus, menuntut pemerintahan parlemen. Kepemimpinan PKI
mendukung penekanan pergerakan ini oleh Sukarno, yang mengimbau untuk
pengadaan "kesatuan nasional". Ketika pengkhianatan ini dilawan oleh
sebuah bagian PKI, pemimpin-pemimpin PKI menjawab dengan kejam,
mengeksekusi pemimpin-pemimpin dari faksi oposisi ini.
Partai
Acoma muncul dari grup yang menentang ini. Walaupun mereka tidak
menyetujui tindakan kepemimpinan PKI, Partai Acoma tetap berpendapat
bahwa revolusi Indonesia harus dilakukan oleh PKI sebagai sebuah "partai
Marxis-Leninis". Selanjutnya pemimpin-pemimpin Partai Acoma menjalin
hubungan dengan "Sekretariat Tergabung" yang mendorong posisi
pro-Stalinis dan ilusi-ilusi tentang Maoisme mereka.
Itu jelas bahwa Partai Acoma mengarahkan para pekerja dan petani yang mencari jalan lain ke program kolaborasi antar-kelas PKI.
Dari
tahun 1953 sampai 1955 misalnya, kekuatan pengaruh Acoma dalam SAKTI,
Asosiasi Petani Indonesia yang beranggotakan 200,000 orang, membuat
kepemimpinan PKI menunda sampai dua tahun rencana mereka untuk
menggabungkan SAKTI dengan dua organisasi petani lainnya yang di bawah
pengaruh PKI, RTI dan BTI.
Para Pablois mempersiapkan pengkhianatan
Sebuah
artikel yang dicetak bulan Februari 1958 dalam jurnal Pablois
"Quatrieme International" mengajukan sebuah tuduhan yang jelas atas
peranan yang dimainkan oleh Pabloisme dalam melawan perjuangan untuk
sebuah kepemimpinan Marxis Revolusioner dalam kelas pekerja.
Artikel
itu,"Revolusi Indonesia Bergerak Maju", oleh Sal Santen, seorang kolega
dekat Pablo, ditulis pada puncak pergerakan-pergerakan revolusi di
bulan Desember 1957, ketika para pekerja dan petani merampas
perkebunan-perkebunan dan perusahaan-perusahaan milik Belanda dan negara
imperialis lainnya.
Artikel
itu merupakan kerudung kriminal untuk peranan-peranan
kontra-revolusioner PKI, yang memerintahkan rakyat untuk mengembalikan
rampasan-rampasan mereka kepada angkatan bersenjata untuk mendukung
pemerintahan Sukarno.
Menurut
Santen:"Itu mesti ditambahkan bahwa para pejuang komunis, kader dasar
dan biasa PKI dan SOBSI, organisasi besar pekerja Indonesia, tidak
memiliki sifat birokratis Aidit dan kawan-kawan. Mereka ada di garis
depan; mereka adalah yang mengambil alih inisiatip dalam menduduki
pabrik-pabrik, perkebunan-perkebunan, bank-bank dan kapal-kapal laut.
Tidak ada keraguan sedikitpun bahwa yang paling sadar-kelas antara
mereka terbakar oleh api keberanian revolusioner Tan Malaka, oleh
ide-ide revolusi permanen Leon Trotsky."
Bertindak
menurut arah ini, para Pablois Indonesia melucuti secara politis
puluhan ribu pekerja dan petani yang bergerak maju untuk berjuang, hanya
untuk menyadari bahwa jalan mereka dilintangi oleh PKI. Pada saat di
mana tugas yang paling penting adalah mendidik para pekerja yang paling
sadar-kelas dalam pentingnya sebuah perjuangan tanpa kompromi melawan
teori "dua tahap" dan "blok empat kelas" Stalinis PKI, dan pentingnya
sebuah penguatan mendalam teori Revolusi Pemanen, para Pablois bekerja
sebaliknya.
Oportunis
secara mendalam, mereka menyamakan Trotsky dengan Tan Malakka, pemimpin
PKI yang menentang rencana untuk sebuah pemberontakan di tahun 1926 dan
meninggalkan PKI untuk mendirikan organisasinya sendiri. Mereka
memalsukan teori Revolusi Permanen Marxis, merubah itu dari sebuah
strategi sadar untuk memandu perjuangan-perjuangan untuk diktatur kaum
proletar menjadi sebuah perspektif yang terjadi secara spontan.
Ajaran
utama teori Revolusi Permanen Trostky adalah kekhianatan kaum burjuis
nasional dan ketidakmampuannya untuk memimpin perjuangan sejati melawan
imperialisme. Hanya kelas pekerja lah yang dapat membebaskan rakyat dari
penekanan atas kelasnya dan penekanan nasional, dengan mengadakan
revolusi sosialis dan menyatukan diri mereka dengan saudara-saudara
sekelas di seluruh dunia dalam sebuah perjuangan untuk menggulingkan
imperialisme secara internasional.
Perjuangan
itu hanya dapat dilakukan secara sadar di bawah panji-panji
Internasional Keempat dalam sebuah perjuangan tanpa kompromi melawan
para Stalinis dan kekuatan-kekuatan petit-burjuis, seperti para Pablois,
yang mencoba melucuti kelas pekerja secara politis dan mengikat kepada
kaum burjuis mereka.
Di
tangan para Pablois, program Revolusi Permanen menjadi alasan untuk
penyesuaian diri mereka kepada kaum burjuis nasional dan para Stalinis.
Kelas pekerja tidak memerlukan partai revolusioner mereka sendiri untuk
mengambil-alih kekuasaan karena PKI sedang merupakan instrumen melalui
apa Revolusi Permanen itu sedang dinyatakan, walaupun secara tidak
sadar.
Dengan
demikian, Santen, berbicara untuk Pablo dan Mandel, menyatakan:
"Bagaimanapun juga itu adalah jelas bahwa Indonesia secara menyeluruh
sedang bergerak. Pergerakan rakyat sudah tidak bisa dimundurkan --
walaupun proses itu tetap bertentangan -- dan sudah mencapai tahap
kekuasaan rangkap di sebagian besar Indonesia, terutama di Jawa.
Pendudukan perusahaan-perusahaan, perkebunan-perkebunan, armada dan
bank-bank oleh rakyat hanya berarti satu: Itu adalah tentang permulaan
klasik revolusi proletar. Revolusi Indonesia sedang dalam proses
membobol batas-batas revolusi nasional di bawah pimpinan kaum burjuis
nasional. Itu berkembang menurut hukum-hukum revolusi permanen."
(Tekanan di dalam dokumen asli).
Para Pablois mengulurkan prospek sebuah perubahan secara damai ke "kekuasaan pekerja dan petani":
"Sebuah
kemenangan yang damai dan cepat revolusi itu ke kekuasaan pekerja dan
petani (terutama di Jawa) dapat dicapai, bila PKI, pada saat pertama
terdorong semangat rakyat, tidak berusaha mengebiri aksi rakyat dengan
meletakkannya di bawah kontrol pemerintah."
Apa
yang dimaksudkan oleh para Pablois dengan "kekuasaan pekerja dan
petani" adalah bertentangan dengan perjuangan untuk diktatur kaum
proletar. Para Pablois berjajar sebagai penyorak untuk perspektif
kontra-revolusioner Stalinis "dua-tahap" yang menuntut kaum proletar
untuk menghentikan perjuangan untuk revolusi sosialis.
Untuk
menghalalkan pertentangan mereka terhadap penggerakan mandiri kelas
pekerja dan penempaan sebuah kepemimpinan revolusioner proletar, yaitu,
partai Trotskyis, para Pablois bersikeras bahwa PKI, meskipun sudah
mengkhianati aksi-aksi pendudukan di bulan Desember 1957, akan terdorong
ke kiri oleh rakyat:
"Pada
saat yang sama, pada setiap perkembangan situasi, rakyat mempunyai
kecenderungan untuk mendorong SOBSI dan PKI lebih jauh. Banyaklah yang
sekarang tergantung pada keberanian, pada pengertian Marxis
revolusioner, kader-kader Komunis. Kita merasa solider sepenuhnya dengan
mereka, terilhami dan terantusiasi oleh inisiatip mereka, keberanian
mereka yang -- kita harap dengan penuh semangat -- tidak akan berhenti
karena tabu-tabu para Aidit. Kita memberi hormat untuk kader-kader
Trotskyis Indonesia yang menggabung ke dalam PKI dengan perspektif
revolusioner yang benar bahwa radikalisasi rakyat akan terjadi terutama
melalui PKI dan SOBSI."
Ini
adalah kejahatan terbesar Pabloisme -- pelikuidasian kader Trotskyis,
dan semua yang tertarik ke Trotskysime, ke dalam kamp Stalinisme.
Santen
menambahkan sebuah catatan untuk menekankan bahwa sikap khianat ini
dinyatakan dalam pertentangan secara langsung terhadap perjuangan yang
dilakukan oleh Komite Sedunia Internasional Keempat sejak pembentukannya
di tahun 1953 untuk mempertahankan Trotskysime terhadap likuidasionisme
Pablois. Santen secara khusus mencela perjuangan KSIK untuk pendirian
badan-badan bagian Internasional Keempat untuk mengalahkan Stalinisme
kontra-revolusioner:
"Bertentangan
dengan beberapa orang `ortodoks` yang picik, Internasional ini tidak
membiarkan dirinya untuk terpesona oleh politik reaksioner Stalinisme,
tetapi mengarahkan dirinya, terutama ke dinamisme situasi itu sendiri,
sebuah dinamisme yang mendorong rakyat dan melalui rakyat, PKI sendiri
ke dalam pertentangan dengan keadaan di Indonesia saat ini."
Kata-kata
ini perlu dicapkan di pikiran setiap pekerja sebagai ringkasan dari
pekerjaan licik pro-Stalinis Pabloisme. Dalam pertentangan langsung
dengan KSIK, para Pablois secara sadar mendorong ilusi-ilusi fatal dalam
Stalinis-Stalinis PKI, tepat pada saat di mana masalah yang sangat
penting saat itu adalah untuk membeberkan peranan kriminal para Stalinis
dan berusaha sekuat tenaga untuk memisahkan rakyat secara mantap dari
PKI untuk mendirikan sebuah kepemimpinan Trotskyis revolusioner.
Perjuangan
yang berkepanjangan dan yang berkeras Komite Internasional
Internasional Keempat (International Committee of the Fourth
International) melawan para oportunis Pablois, yang bertahun-tahun
tampak sebagai perjuangan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok kecil
terpencil dalam Internasional Keempat, menjadi masalah hidup mati untuk
jutaan buruh dan petani Indonesia.
Pembantu-pembantu kontra-revolusioner
Dalam
waktu beberapa minggu dari penulisan kata-kata Santen, buah-buah busuk
dari pengkhianatan PKI atas pergerakan di bulan Desember 1957 mulai
muncul. Sebuah pemerintah kontra-revolusioner dibentuk di Sumatra Tengah
di bulan Februari 1958 oleh pemimpin kudeta Kolonel Achmed Hussein dan
dipimpin oleh Dr Syafruddin Prawiranegara. Operasi yang didukung CIA
ini, yang dimungkinkan oleh pengebirian pergerakan Desember 1957 oleh
PKI, merupakan percobaan untuk kudeta yang akan terjadi tujuh tahun
setelah itu.
Mengerti
bahwa ini adalah percobaan untuk kontra-revolusi, tanggapan para
Pablois adalah untuk menambah pembesaran mereka atas PKI. Editor
Quatrieme International menambahkan sebuah catatan yang berklimaks
dengan kata-kata ungu berikut:
Karena
tujuan utama para `pemberontak` adalah untuk menghancurkan 'demokrasi'
terpimpin Sukarno, dalam mana PKI termasuk, maka kompromi akan merugikan
PKI. Dalam kasus ini, arahan jangka-pendek adalah PKI di bawah tekanan
rakyat, akan terpaksa melakukan pemutaran-balik politik besar, seperti
yang dilakukan oleh Partai Komunis Cina dalam situasi yang mirip di
tahun 1949, dan untuk melewati tahap nasionalis-burjuis dan langsung ke
tahap sosialis kekuasaan pekerja. Ini, sesungguhnya, tetapi sekali lagi
tanpa pemberitahuan, bergerak menurut dan membuktikan teori revolusi
permanen Trotskyis."
Di situ, PKI, tukang gantung revolusi Indonesia digambarkan sebagai instrumen tak sadar Revolusi Permanen!
Ditambahkan
di situ, adalah kebohongan bahwa para Stalinis Cina, guru Aidit dan
pemimpin PKI yang lain, telah melakukan "tahap sosialis dari kekuasaan
pekerja" di tahun 1949. Kenyataanya tentara-tentara petani para Maois
menekan secara brutal pergerakan proletar di tahun 1949, membunuh semua
oposisi Trotskyis, dan mendirikan sebuah negara pekerja yang cacat sejak
lahir yang berdasarkan atas perspektif Stalinis pengadaan kerjasama
dengan kaum burjuis nasional, kaum petit-burjuis urban dan para petani.
Ini adalah model yang merupakan dasar bagi kepemimpinan PKI sendiri.
Tidak
puas dengan menganjungkan para Stalinis, catatan spesial editor itu
kemudian menunjukkan kemungkinan kelas burjuis-nasional merubah diri
secara progresif juga. Itu mengusulkan senario lain yang berdasarkan
atas pemerintah Sukarno memimpin perjuangan melawan
"pemberontak-pemberontak" yang diatur oleh CIA.
Dalam
kemungkinan lainnya dimana pemerintah Sukarno memberikan perlawanan dan
pertahanan yang lebih kuat terhadap `para pemberontak`, pemisahan yang
lebih jauh antara kekuatan-kekuatan burjuis dan kontra-revolusioner
semi-feodal akan tampak; menghadapi sebuah pemerintah bayangan
nasionalis-burjuis dan rakyat. Konfrontasi antara rakyat dan
pemberontakan `pemilik budak` baru ini, `Kornilov putsch` baru ini, akan
menimbulkan gejolak baru revolusi, dan pengalaman dari aksi revolusi
semacam ini akan meninggalkan kemungkinan kecil untuk sebuah rejim
nasionalis-burjuis untuk kembali ke stabilitas."
Peristiwa-peristiwa
Oktober 1965 akan membuktikan bahwa rejim Sukarno tidaklah kurang ramah
terhadap tukang-tukang jagal Suharto dibandingkan dengan pemerintahan
Kerensky terhadap kudeta Jendral Kornilov di tahun 1917. Sukarno
menunjukkan intisari nasionalisme burjuis dengan mengakhiri karir
politisnya sebagai presiden bonekanya junta militer Suharto.
Kesimpulan
dari catatan editor itu seharusnya ditulis di batu nisan
Pabloisme:"Dalam kasus yang mana saja, arahan optimistis kita adalah
benar. Revolusi Indonesia sedang maju! Kemenangannya sebagai sebuah
revolusi sosialis sedang terjadi.(Tekanan dalam dokumen asli)
Dari
tahun 1957 sampai 1965 para Pablois di seluruh dunia melakukan
penutupan obyektivis ini atas bahaya-bahaya yang menghadapi revolusi
Indonesia.
Pekerjaan
dari organisasi bagian Pablois di Indonesia adalah sangat penting untuk
seluruh perspektif sedunia Pablois. Itu dibicarakan secara intensif di
yang dinamakan Kongres Dunia Kelima dari "Sekretariat Tergabung" di
tahun 1957.
"Kongres
Dunia Kelima kita, dalam membicarakan kemajuan dan jalur revolusi
kolonial sedunia, memberikan perhatian serius terhadap
perkembangan-perkembangan di Indonesia. Mengenali situasi Indonesia
sebagai pra-revolusi, itu mengharapkan sebuah ledakan revolusioner
sebentar lagi." Kata artikel Santen.
Seluruh
"Sekretariat Tergabung" Pablois mempunyai tangan berdarah. Mereka
membantu pengkhianatan Stalinis terhadap pekerja-pekerja dan
petani-petani Indonesia.
BAB KELIMA
Para Pablois menutupi kekhianatan Stalinis.
Krisis kepemimpinan kelas pekerja tidak pernah terungkap setajam seperti di Indonesia antara tahun 1963 dan 1965.
Nasib
para buruh dan petani Indonesia tergantung kepada penanggulangan dan
pengalahan arah kontra-revolusioner PKI yang mengikat kelas pekerja ke
rejim nasionalis-burjuis Sukarno ketika angkatan bersenjata, dengan
dukungan AS, mempersiapkan sebuah kudeta berdarah.
Stalinis-Stalinis
PKI, dipimpin oleh sekretaris-jendral Aidit, berulang-ulang menuntut
para pekerja dan petani untuk mengembalikan pabrik-pabrik dan
perkebunan-perkebunan yang telah mereka sita. Mereka kemudian bergabung
dengan jendral-jendral angkatan bersenjata duduk dalam kabinet
pemerintah Sukarno dan mendukung pelarangan aksi-aksi mogok kerja.
Bertambah
jelas kalau para jendral sedang mempersiapkan sebuah kudeta berdarah,
bertambah keras pemimpin-pemimpin PKI bekerja untuk menenangkan kelas
burjuis dan angkatan bersenjata bahwa PKI menentang mobilisasi
revolusioner rakyat.
Aidit
berulang-ulang menyatakan bahwa aparatus negara di Indonesia tidak
perlu dihancurkan tetapi dapat dirubah dari dalam untuk memperkuat
"elemen-elemen pro-rakyat," yang termasuk presiden Sukarno. Pemimpin PKI
ini memberi ceramah-ceramah di sekolah-sekolah militer di mana dia
menggembar-gemborkan "perasaan kebersamaan dan persatuan yang setiap
hari bertambah kuat antara seluruh angkatan bersenjata republik
Indonesia dan kelompok-kelompok lain rakyat Indonesia, termasuk para
komunis."
Kepemimpinan
PKI hanya dapat mengajukan posisi-posisi ini karena para Pablois
Indonesia bekerja sama kerasnya untuk mencegah para pekerja memisahkan
diri dari para Stalinis. Mereka menentang keras pendirian sebuah
kepemimpinan revolusioner yang baru.
Tanggung
jawab untuk akibat kontra-revolusioner berdarah arahan ini dapat diusut
secara langsung ke Kongres Reunifikasi Pablois di mana Partai Sosialis
Pekerja (SWP) Amerika melakukan pemutusan dengan Komite Internasional
Internasional Keempat dan bergabung dengan "Sekretariat Tergabung"
Pablois Ernest Mandel.
Setelah
memimpin perjuangan melawan likuidasionisme Pablois di tahun 1953, para
pemimpin SWP di akhir 1950an makin lama makin menyerah ke tekanan
perkembangan ekonomi cepat setelah Perang Dunia Kedua yang berlangsung
dan tampak ketenangan kaum buruh. Mereka meninggalkan perjuangan untuk
revolusi proletar yang dipimpin oleh partai macam Bolshevik dan mencari
"persatuan kembali" dengan para radikal petit-burjuis dan Stalinis yang
tidak puas. Di tahun 1963 mereka bergandeng tangan dengan para Pablois
dalam menyatakan bahwa bukan saja partai-partai Stalinis, seperti PKI,
tetapi juga kekuatan-kekuatan nasionalis-burjuis di negara-negara
berkembang, seperti Castro di Kuba dan Sukarno di Indonesia dapat
menjadi sarana penyataan sosialisme.
Resolusi
pemersatuan kembali ini menyatakan bahwa tidak ada krisis kepemimpinan
revolusioner di negara-negara tertindas: "Di negara-negara kolonial dan
semi-kolonial...kelemahan kapitalisme, seluruh struktur sosio-ekonomis
yang aneh yang dihasilkan oleh imperialisme, kesengsaraan permanen
sebagian besar populasi dalam ketidakadaanya revolusi radikal agraris,
stagnasi dan malah menurunnya standar kehidupan sementara
industrialisasi berjalan dengan cepat secara relatip, menciptakan
situasi-situasi di mana kejatuhan satu gejolak revolusi tidak secara
otomatik menciptakan stabilisasi ekonomis dan sosial yang relatip atau
sementara. Sebuah rentetan perjuangan-perjuangan rakyat yang tampaknya
tak ada habisnya terus berlangsung, seperti dialami Bolivia selama 10
tahun."
Dalam
kata lain, bagaimanapun menghancurkannya kekalahan-kekalahan dan
pengkhiatan-pengkhianatan yang dibebankan kepada rakyat, mereka akan
bangkit kembali. Tidak ada perlu untuk partai Trotskyis. Sifat kriminal
dari kepuasan diri oportunis ini akan segera ditunjukkan dalam darah
rakyat Indonesia.
Konperensi
tahun 1963 ini didasarkan atas penolakan kepentingan bersejarah
pembangunan seksi-seksi pergerakan Trotskyis di negeri-negeri
terbelakang. Resolusi Pablois mengatakan:"Kelemahan musuh di
negeri-negeri terbelakang telah menciptakan kemungkinan untuk merebut
kekuasaan meskipun dengan instrumen tumpul."
Di Indonesia, "instrumen tumpul" ini adalah PKI.
Pengkhianatan besar di Sri Lanka
Kekhianatan
Pablois di Indonesia adalah sangat berhubungan dengan pengkhianatan
besar di Sri Lanka di tahun 1964 ketika Partai Lanka Sama Samaja (LSSP),
organisasi Pablois, memasuki koalisi burjuis Ibu Bandaranaike, bersama
dengan para Stalinis Partai Komunis Sri Lanka, untuk memenggal
pergerakan massa kaum buruh melawan kekuasaan kapitalis.
LSSP
telah menentang pembentukan Komite Internasional di tahun 1953 dan
mengikuti itu memainkan peranan penting dalam mempersiapkan persatuan
kembali SWP Amerika dengan para Pablois. Pertentangan mereka terhadap
perjuangan menentang oportunisme dalam Internasional Keempat berakar di
orientasi mereka yang makin bertambah nasionalis dan peninggalan program
dan prinsip-prinsip Trotskyis untuk mengakomodasi para Stalinis dan
partai kapitalis Bandaranaike SLFP di Ceylon (Sri Lanka).
Konggres
Reunifikasi Pablois di tahun 1963 menutupi oportunisme nasional LSSP
dengan mengajukan:"Seksi Ceylon kita sudah perlahan-lahan membetulkan
orientasi salah yang diadopsi di tahun 1960 yang mendukung pemerintahan
burjuis-liberal SLFP. Sejak rakyat mulai beraksi, mereka tidak ragu-ragu
untuk menaruh diri mereka di kepala pergerakan ini melawan sekutu
elektoral mereka yang kemarin." Hanya setahun setelah itu aling-aling
"Trotskyis" palsu yang diberikan oleh para Pablois digunakan oleh LSSP
untuk memasuki pemerintahan kapitalis.
Pengkhianatan
oleh sebuah partai yang dianjung-anjungkan oleh para Pablois sebagai
"partai Trotskyis terbesar di dunia" ini mempunyai akibat yang membawa
bencana di seluruh dunia, yang pertama di Indonesia. Itu memperkuat
tangan partai-partai Stalinis dan Maois, seperti PKI, yang kemampuannya
untuk menekan dan melucuti kaum buruh akan sudah hancur bila LSSP
berpegang ke program revolusi permanen dan berjuang untuk penggulingan
kekuasaan burjuis di Sri Lanka.
Pablois memperkuat PKI
Setelah
masuknya seksi Sri Lanka mereka ke dalam pemerintahan kapitalis itu,
dengan para Stalinis, para Pablois terus mengikuti arahan pro-Stalinis
dan pro-burjuis-nasional yang sangat mirip di Indonesia.
Pamflet
Pablois "Bencana di Indonesia" bukan saja menutupi peranan yang
dimainkan oleh seksi Pablois Indonesia, Partai Acoma, seperti kita
ungkapkan di bagian terakhir seri ini. Meskipun setelah kudeta berdarah
di Indonesia, pamflet ini terus mengajukan kemungkinan kelas
burjuis-nasional dan PKI dapat memainkan peranan progresif.
Itu
termasuk sebuah artikel oleh T Soedarso, yang digambarkan oleh pemimpin
SWP AS Joseph Hansen dalam kata depan pamflet ini sebagai "anggota muda
PKI yang berhasil mengasingkan diri". Hansen memuji secara bersemangat
artikel Soedarso sebagai "tanda dari tekad sebuah sektor penting dalam
PKI untuk mempelajari apa yang terjadi dan menggunakan
pelajaran-pelajaran sehingga dapat menjamin kemenangan bila rakyat
bergejolak maju lagi, yang pasti akan terjadi."
Artikel
Soedarso melihat program kontra-revolusioner kepemimpinan PKI sebagai
sejumlah "kesalahan" termasuk "kekeliruan-kekeliruan...mencoba
mendirikan sosialisme dengan jalan damai" dan untuk mengikuti "politik"
teori revolusi dua tahap dan front tergabung dengan kelas
burjuis-nasional.
Soedarso
tidak mengutarakan perbedaan-perbedaan yang mendasar dengan para
Stalinis, setuju, contohnya, bahwa "Pergerakan revolusioner dapat dan
sebaiknya mendukung sikap-sikap atau aksi-aksi progresif kelas burjuis
nasional." Kalau bukti pernah diperlukan bahwa kelas burjuis
semi-kolonial, dilambangkan oleh Sukarno, adalah pada dasarnya tidak
mampu untuk melakukan program "progresif" tetapi akan mendukung
pembantaian kelas pekerja, pertumpahan darah itu memberikannya. Selama
18 bulan Sukarno menjadi presiden boneka diktatur Jendral Suharto, dan
setelah itu, mulai dari Maret 1967, dia dipertahankan sebagai "presiden
tanpa kekuasaan".
Para
Pablois juga meremehkan pentingnya pemasukan PKI ke dalam koalisi
NASAKOM Sukarno dengan para tukang jagal militer. Soedarso mengimbau PKI
untuk membalik arahan ini, sepertinya itu hanyalah sebuah kesalahan
kecil.
Peminta
maafan Soedarso untuk kekhianatan kelas mendasar ini bukanlah
kebetulan. Inti dari Pabloisme adalah pembalikan perjuangan Trotsky
melawan Stalinisme. Evolusi Stalinisme menjadi sebuah birokrasi
kontra-revolusioner ditetapkan tanpa keraguan di tahun 1933 ketika
Komintern (Internasional Komunis) Stalinis menyetujui tanpa ada suara
perlawanan satu pun kekhianatan Partai Komunis Jerman yang menyerahkan
kelas buruh Jerman kepada Hitler tanpa adanya peluru melayang. Mulai
dari saat itu Trotsky bersikeras bahwa Internasional Ketiga telah secara
pasti menyeberang ke kamp burjuis, dan bahwa Internasional Keempat
harus dibangun sebagai partai dunia revolusi sosialis untuk memastikan
kelangsungan Marxisme.
Artikel
Soedarso adalah sebuah penutupan secara sadar, yang diatur oleh Mandel
dan Hansen, atas peranan reaksioner Stalinisme. Artikel itu secara sadar
tidak menggunakan kata "Stalinisme", tetapi secara curang memanggil PKI
"Komunis". Dan kemudian untuk membuat posisinya sangat jelas, Soedarso
menyimpulkan:"Kecaman di atas tidaklah dimaksudkan untuk merusak peranan
PKI atau untuk membangkitkan ketidakpercayaan kepada Komunisme
Indonesia."
Demikian,
setahun setelah kudeta militer itu, pada saat mana satu juta pekerja
dan petani sudah binasa, para Pablois sedang menutupi
pelajaran-pelajaran tahun 1965 dan masih menganjurkan para pekerja dan
petani Indonesia untuk tetap mempercayai PKI.
`Pelajaran-Pelajaran` Pablois Indonesia
Artikel
Soedarso bukanlah sebuah contoh terisolasi. Kenyataannya arah yang
diajukan di artikel itu memberikan tema-tema penting sebuah pernyataan
yang diterbitkan tanggal 20 Maret 1966 oleh "Sekretariat Tergabung"
Pablois. Berjudul "Pelajaran-Pelajaran Indonesia", itu menentang segala
pemisahan dari PKI dan tidak mengeluarkan panggilan untuk pembangunan
sebuah seksi Internasional Keempat. Sebaliknya, itu menyatakan bahwa
"Komunis-Komunis Indonesia" dapat "menanggulangi akibat dari kekalahan
saat ini" dengan mengasimilasi pelajaran-pelajaran tertentu.
"Pelajaran"
pertama diajukan secara berikut:"Walaupun itu benar dan penting untuk
mendukung semua pergerakan-pergerakan rakyat anti-imperialis, dan bahkan
mendukung secara kritis semua tindakan-tindakan yang dilakukan oleh
wakil-wakil kelas burjuis kolonial seperti Sukarno, untuk sebuah
revolusi kolonial mendapat kemenangan, itu adalah sangat penting untuk
mempertahankan kemandirian organisasi-organisasi proletar secara politis
maupun secara keorganisasian dari kelas burjuis nasional."
Para
Pablois bukan hanya mendorong ilusi-ilusi berbahaya tentang
kepura-puraan "anti-imperialis" kelas burjuis nasional, kata-kata mereka
tentang "kemandirian" politis organisasi-organisasi proletar adalah
penuh dengan kepalsuan. Kemandirian politis kelas pekerja hanyalah dapat
ditetapkan dengan membangun sebuah partai Trotskyis dalam perjuangan
yang berani dan tak mengenal kasihan melawan para Stalinis yang sedang
dicoba untuk disadarkan oleh para Pablois.
"Pelajaran"
Pablois kedua mengajukan bahwa: "Meskipun itu benar dan penting dalam
fase-fase pertama revolusi di negara-negara terbelakang untuk menekankan
masalah pemenangan kemerdekaan nasional, mempersatukan negara dan
menyelesaikan masalah agraris (yaitu, tugas-tugas bersejarah dari
revolusi demokratis burjuis yang merupakan masalah yang paling penting
di mata 80 percent sampai 90 percent populasi), itu adalah sangat
penting untuk mengerti bahwa penyelesaian tugas-tugas ini hanyalah
mungkin bila kelas buruh, dalam persekutuan dengan para petani miskin,
telah memenangkan kepemimpinan revolusi, mendirikan diktatur proletar
dan petani miskin dan mendorong revolusi itu ke fase sosialisnya."
Dengan
arah oportunis "dua fase", para Pablois mencoba untuk menghidupkan
kembali teori "dua-tahap" Stalinis yang telah kehilangan kepercayaan,
yang menuntut "fase sosialis" revolusi ditunda sampai selesainya
revolusi demokratis dan nasional. Arahan para Pablois adalah kebalikan
dari teori Revolusi Permanen Trotsky yang didasarkan atas sifat
internasional revolusi sosialis dan peranan revolusioner proletariat
internasional. Trotsky menekankan pelajaran inti dari Revolusi Rusia
bahwa, dalam jaman ini, tugas-tugas demokratis dan nasional di
negara-negara terbelakang dan tertindas hanya dapat dicapai melalui
revolusi proletar dan penyebarannya ke seluruh dunia.
Seruan
para Pablois untuk "diktatur proletar dan para petani miskin" mencoba
untuk menghidupkan kembali formula "Bolshevik Lama" tentang "diktatur
demokratis proletar dan petani" yang diganti oleh Lenin di tahun 1917.
Lenin mengadopsi posisi Trotsky yang tegas bahwa proletariat adalah
kelas revolusioner satu-satunya yang dapat memimpin para petani dan
melaksanakan tugas-tugas demokratis dan sosialis negara-negara
terbelakang sebagai bagian dari perjuangan kelas buruh seluruh dunia.
"Pelajaran"
ketiga yang diajukan oleh para Pablois adalah:"Meskipun itu adalah
penting untuk memenangkan basis rakyat seluas mungkin di desa-desa,
sebuahpartai revolusioner yang dapat melaksanakan politik ini haruslah
berdasarkan atas kader proletar kuat yang dididik secara menyeluruh
dalam teori dan praktek revolusioner Marxis."
Sifat
ganda dari "pelajaran" ini dapat dilihat dari kenyataan bahwa itu
ditujukan kepada para Stalinis. Penyebutan-penyebutan "kader proletar
kuat" dan "teori Marxis" adalah palsu.
Kenyataannya,
"Sekretariat Tergabung" menasehatkan anggota-anggota kepemimpinan PKI
yang selamat untuk mengambil jalan perang gerilya di daerah pedesaan.
Pernyataan
mereka menunjukkan harapan bahwa "apa yang tertinggal dari kepemimpinan
dengan kader-kader partai yang selamat -- terutama yang berpendidikan
terbaik, mereka yang dikuatkan oleh pengalaman mengerikan yang mereka
alami dalam enam bulan terakhir -- akan mengambil jalan perang gerilya,
jika hanya untuk pertahanan diri.
Mereka
menganjurkan para Stalinis untuk berbelok ke perang gerilya yang
menggunakan para petani, meniru para Maois di Cina. Maoisme adalah
semacam Stalinisme, berdasar atas permusuhan para petani terhadap
kekuasaan kelas buruh. Berasal dari kekalahan revolusi Cina dan
penghancuran keanggotaan buruh Partai Komunis Cina di tahun 1926-27,
pembelokan Mao ke arah para petani menghasilkan aborsi di tahun 1949
revolusi Cina. Itu menghasilkan negara buruh yang sangat cacat di
kelahirannya yang berdasarkan atas "blok empat kelas" Mao -- kelas
burjuis nasional, kelas petit-burjuis urban, petani dan kelas buruh.
di kutip dari
0 komentar:
Posting Komentar